Materi ngajikok 17 September 2011, Athen Apartment, Room 216
Pemateri: Bapak Fikri Waskito
I. Sekilas mengenai Kaidah Fiqih
Barangkali kita sering mendengar istilah “kaidah fiqih” dalam kehidupan kita sehari-hari. Pada dasarnya, kaidah fiqih adalah kaidah dalam memahami ilmu fiqih. Ilmu fiqih yang kita maksud ini meliputi bagaimana kita beribadah pada Allah Subhaanahu wa Ta’ala, bagaimana membedakan yang halal dan haram, bagaimana cara bermuamalat sesama manusia, dan lain sebagainya. Melalui ilmu fiqih ini pula kita mengetahui bahwa Islam itu sudah sempurna dan juga mengatur segala urusan manusia dalam segala sendi kehidupannya.
Karena perkara dalam fiqih ini menyangkut halal atau haram, dan juga sah atau tidaknya suatu ibadah yang kita lakukan, sehingga ilmu ini cukup perlu mendapatkan perhatian yang khusus. Salah satunya adalah dengan mempelajari kaidah-kaidah dalam ilmu fiqih.
Perlu kita ketahui bahwa ada dua macam kaidah dalam memahami ilmu fiqih, yaitu:
1. Kaidah yang berhubungan dengan dalil; maksudnya adalah bagaimana cara memahami dan mengambil faedah dari sebuah dalil (yang kemudian dikenal dengan istilah ilmu ushul fiqh). Kaidah ini biasanya disebut dengan ilmukaidah ushul fiqih. Kaidah ini wajib dikuasai oleh para fuqoha (ahli fiqih). Sehingga tidak sembarang orang bisa mengambil faedah dari sebuah dalil. Contoh yang paling mahir dalam menggunakan kaidah ini adalah para imam Mazhab yang empat. Sehingga mereka semua –rahimahumullah- sampai masing-masing memiliki mazhab fiqih dengan pengikut yang banyak.
Contoh kaidah ini, misalnya: الأمر للوجوب, yaitu sebuah perintah pada asalnya adalah wajib (hingga ada dalil lain yang memalingkannya).
2. Kaidah yang berhubungan langsung dengan amal perbuatan hamba; yang kemudian disebut dengan ilmu qowa’id fiqhiyyah atau kaidah fiqih. Kaidah inilah yang akan pelajari salahsatunya pada pertemuan kali ini.
Kaidah fiqih ini jumlahnya ada cukup banyak dan tidak ada bilangan tertentu. Tiap kitab yang membahas mengenai kaidah-kaidah ini biasanya memberikan jumlah kaidah yang berbeda. Namun asalkan kaidah-kaidah tersebut berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah yang shahih, maka kaidah tersebut dapat kita gunakan.
Redaksi dari kaidah ini dapat berupa kutipan dari nash, atau juga dapat berupa redaksi baru yang terangkum dari dalil-dalil yang mendasarinya. Contoh kaidah yang berasal dari nash, misalnya:
لاَ ضَرَرَ وَلَا ضِرَا رَ
“Tidak boleh berbuat sesuatu yang membahayakan (diri sendiri dan orang lain)”
Secara umum, para ulama membagi kaidah fiqih menjadi dua, yaitu:
1. Lima Kaidah Besar, atau biasa disebut Al-Qowaidul Khomastul Kubro. Lima kaidah ini merupakan kaidah pokok yang paling dasar. Biasanya kaidah-kaidah fiqih yang lain bermuara pada kaidah-kaidah fiqih ini. Lima kaidah ini adalah:
- Sesungguhnya suatu amalan tergantung pada niatnya (إِنَّمَاالأَعْمَالُبِالنِّيَّاتِ)
- Sesuatu yang yakin tidak bisa dihilangkan dengan keragu-raguan (اليَقِيْنُ لَا يَزُوْلُ بِالشَّكّ)
- Kesulitan membawa kemudahan (المَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ)
- Adat dapat menjadi patokan hukum (العادة محكمة)
- Tidak boleh berbuat sesuatu yang membahayakan (لاَ ضَرَرَ وَلَا ضِرَا رَ)
2. Kaidah yang selain dari lima kaidah besar tadi. Kaidah-kaidah ini biasanya merupakan turunan dari lima kaidah besar yang telah disebutkan sebelumnya.
Kaidah fiqih ini memberikan banyak manfaat jika kita pelajari, antara lain:
- Membantu kita dalam mengingat dan membedakan banyak permasalahan yang serupa dalam ilmu fiqih.
- Memudahkan kita dalam menemukan hukum suatu kasus atau permasalahan yang tidak termaktub secara khusus dalam nash-nash Alqur’an dan sunnah.
- Susunan kalimat kaidah fiqih yang singkat dan padat, menjadikan kita mudah untuk menghapalnya.
- Kaidah fiqih dengan ciri khasnya: keluasan makna dan objektifitas, menjadikannya sebagai patokan hukum yang bisa diterapkan pada banyak permasalahan dengan tidak terpancang pada individu ataupun permasalahan tertentu.
1. Fenomena banyaknya orang yang tidak memahami kaidah-kaidah dasar dalam memahami fiqih Islam padahal masalah ini selalu mereka dapatkan setiap harinya.
Contohnya : banyaknya pertanyaan seputar apakah seseorang yang sudah berwudlu lalu dia ragu-ragu, apakah sudah batal ataukah belum, maka apakah dia wajib mengulangi wudlunya ataukah tidak? begitu juga tentang seseorang yang selesai kecing lalu merasa ragu-ragu apakah dia meneteskan air kencing lagi ataukah tidak ? padahal masalah semacam ini sangat jelas tercakup dalam sebuah kaedah fiqih :2. Banyaknya orang yang menggunakan sebuah kaedah fiqih tidak pada tempatnya.
اليَقِيْنُلَايَزُوْلُبِالشَّكّ
"Sesuatu yang yakin tidak bisa dihilangkan dengan sebuah keragu-raguan."
Ambil contoh, tatkala ada seseorang yang menambahi sebuah ibadah dengan cara yang tidak ada contohnya, lalu ada orang lain yang melarangnya, maka dengan serta merta dia akan mengatakan : “Tunjukkan kepada kami sebuah dalil yang melarangnya, karena kami hanya melakukannya karena cinta pada Allah, dan juga mengikuti kaidah fiqih yang masyhur yaitu :
الأَصْلُفِيالْأَشْيَاءِالإِبَاحَةُ
“Pada dasarnya segala sesuatu itu hukumnya mubah.””
Tentu saja penggunaan kaidah ini tidak pada tempatnya, karena kita mengetahui ada kaidah lain yang membatasi mengenai ibadah, yaitu:
الأَصْلُ فِي العِبَادَاتِ التَّوقِيفُ
"Hukum asal dalam permasalahan ibadah adalah tauqifi (alias terlarang, sampai ada dalil yang memerintahkannya."
Demikan uraian ringkas mengenai kaidah fiqih, semoga dapat menjadi dasar bagi kita untuk terus belajar mengenai kaidah dalam syari’at Islam yang mulia ini.II. Kaidah Manfaat dan Mafsadat
الشَارِعُ لَا يَأْمُرُ إِلَّا بِمَا مَصْلَحَتُهُ خَالِصَةٌ أَوْ رَاجِحَةٌ
وَلَا يَنْهَى إِلَّا عَمَّا مَفْسَدَتُهُ خَالِصَةٌ أَوْ رَاجِحَةٌ
Syari’at tidak memerintahkan kecuali sebuah kemaslahatan murni atau yang rojih
Dan tidak melarang kecuali yang murni sebuah mafsadat atau yang rojih
Makna Kaidah
Asy-Syari’ adalah pembuat syari’at, yaitu Allah Subhaanahu wa Ta’ala, baik langsung dari al-Qur‘an ataupun lewat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam sunnah beliau. Karena sunnah beliau pun pada dasarnya adalah wahyu dari Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Sebagaimana firman-Nya:
وَمَا يَنطِقُ عَنِ ٱلۡهَوَىٰٓ (٣) إِنۡ هُوَ إِلَّا وَحۡىٌ۬ يُوحَىٰ ٤ .
“Dan tiadalah yang dia (Muhammad) ucapkan itu (al-Qur‘an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (an-Najm : 3-4)
Dalam kajian kali ini akan lebih banyak digunakan istilah maslahat dan mafsadat. Maslahat artinya adalah kemanfaatan, dan mafsadat merupakan lawan katanya. Perkataan mafsadat sering juga dituliskan dengan istilah madhorot.
Kholishoh adalah murni sebuah kemaslahatan, tanpa ada unsur mafsadat dan madhorot sedikit pun. Begitu pula sesuatu yang mengandung sebuah mafsadat yang murni tanpa ada maslahat sedikit pun.
Rojihah adalah sebuah kemaslahatan yang masih mengandung sedikit mafsadat, namun maslahatnya jauh lebih besar. Begitu pula sebaliknya, sebuah mafsadat yang sedikit mengandung kemaslahatan namun mafsadatnya jauh lebih besar.
Jadi, makna kaidah ini adalah bahwa Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya tidak akan memerintahkan sesuatu kecuali apabila mengandung sebuah kemaslahatan murni tanpa ada unsur mafsadat sedikit pun atau sebuah maslahat besar meskipun ada sedikit mafsadatnya. Demikian pula, Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya tidak akan melarang sesuatu kecuali apabila mengandung mafsadat murni tanpa ada kemaslahatan sedikit pun atau sebuah mafsadat besar meskipun sedikit berbalutkan kemaslahatan.
Kaidah ini merupakan akhlak seorang muslim pada Allah Subhaanahu wa Ta’ala, di mana kita harus selalu berprasangka baik kepada pencipta kita. Prasangka baik ini diwujudkan dengan meyakini bahwa setiap yang diperintahkan kepada kita adalah bermanfaat dan setiap yang dilarang kepada kita adalah tidak bermanfaat.
Dalil Kaidah
Banyak sekali dalil dari al Qur‘an dan as sunnah yang menunjukkan atas kaidah ini. Bahkan hal ini disepakati oleh para ulama’. Diantara yang menunjukkan atas kaidah ini adalah:
Firman Allah Subhaanahu wa Ta’ala:
إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُ بِٱلۡعَدۡلِ وَٱلۡإِحۡسَـٰنِ وَإِيتَآىِٕ ذِى ٱلۡقُرۡبَىٰ وَيَنۡهَىٰ عَنِ ٱلۡفَحۡشَآءِ وَٱلۡمُنڪَرِ وَٱلۡبَغۡىِۚ يَعِظُكُمۡ لَعَلَّڪُمۡ تَذَكَّرُونَ (٩٠)
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (an-Nahl: 90)
Pada ayat ini Allah Subhaanahu wa Ta’ala memerintah dan melarang. Perhatikanlah yang diperintahkan Allah, semuanya adalah sesuatu yang mengandung kemaslahatan. Juga perhatikanlah yang dilarang oleh-Nya, semuanya mengandung mafsadat (kerusakan).
Semua perintah serta larangan dalam al-Qur‘an dan sunnah pun demikian. Tidak ada satu pun perintah melainkan pasti mengandung maslahat dan sebaliknya tidak ada satu pun larangan melainkan mengandung mafsadat.
Di antara sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang menunjukkan atas hal ini adalah:
إِنَّمَابُعِثْتُلِأُتَمِّمَمَكَارِمَ (وَفِيْرِوَايَةٍ: صَالِحَ) الْأَخْلَاقِ
“Sesungguhnya saya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. al-Bukhori dalam Adab Mufrod: 273, al-Hakim: 2/613, Ahmad: 2/318. Lihat ash-Shohihah: 45)
Hadits di atas mengisyaratkan bahwa diutusnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam adalah untuk membawa dan menyempurnakan kemuliaan akhlak. Sedangkan kesempurnaan akhlak tidak mungkin terwujud kecuali dengan adanya kemaslahatan dan hilangnya mafsadat.
Dalil-dalil lainnya masih banyak. Oleh karena itu, para ulama sepakat atas hal ini. Bahkan mayoritas ulama menegaskan bahwa syari’at ini dibangun atas dasar kaidah ini dan semua hukum serta cabang-cabangnya kembali pada kaidah dasar ini. Ini adalah dasar yang mencakup semua syari’at Islam, tidak ada yang tertinggal sedikit pun baik yang berhubungan dengan masalah ushul (pokok) maupun furu’ (cabang), baik yang berhubungan dengan hak Allah ataupun hak makhluk.
Macam-Macam Maslahat dan Mafsadat
Kalau dicermati, maka kaidah ini mencakup empat hal:
Pertama: Maslahat murni.
Contohnya iman kepada Allah serta mentauhidkan-Nya. Ini adalah sebuah kemaslahatan murni bagi hati, jiwa, bahkan badan baik untuk dunia maupun akhirat.
Kedua: Mafsadat murni.
Contohnya kemusyrikan dan kekafiran. Ini adalah mafsadat murni baik untuk kehidupan dunia maupun akhirat baik bagi jiwa maupun badan. Namun, perlu diingat, maslahat dan mafsadat yang dimaksud dalam kaidah ini adalah maslahat dan mafsadat dalam tinjauan syar’i.
Ketiga: Maslahat rojih.
Contohnya jihad fi sabilillah melawan orang-orang kafir. Banyak maslahat besar yang diraih dengan berjuang membela agama Allah Subhaanahu wa Ta’ala untuk menghancurkan kekuatan kafir. Namun, banyaknya keutamaan ini terkadang mengandung beberapa mafsadat dalam kehidupan dunia seseorang. Oleh karena itu, terkadang jiwa agak berat untuk menjalankannya. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman:
كُتِبَ عَلَيۡڪُمُ ٱلۡقِتَالُ وَهُوَ كُرۡهٌ۬ لَّكُمۡۖ وَعَسَىٰٓ أَن تَكۡرَهُواْ شَيۡـًٔ۬ا وَهُوَ خَيۡرٌ۬ لَّڪُمۡۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّواْ شَيۡـًٔ۬ا وَهُوَ شَرٌّ۬ لَّكُمۡۗ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ وَأَنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (al-Baqoroh: 216)
Namun, bagi yang diberi taufiq oleh Allah Subhaanahu wa Ta’ala untuk menjalankannya niscaya akan mendapatkan banyak sekali keutamaan dunia maupun akhirat atau salah satu dari keduanya. Allah Subhaanahu wa Ta’ala memerintahkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam untuk berkata kepada orang-orang kafir:
قُلۡ هَلۡ تَرَبَّصُونَ بِنَآ إِلَّآ إِحۡدَى ٱلۡحُسۡنَيَيۡنِۖ وَنَحۡنُ نَتَرَبَّصُ بِكُمۡ أَن يُصِيبَكُمُ ٱللَّهُ بِعَذَابٍ۬ مِّنۡ عِندِهِۦۤ أَوۡ بِأَيۡدِينَاۖ فَتَرَبَّصُوٓاْ إِنَّا مَعَڪُم مُّتَرَبِّصُونَ
Katakanlah: “Tidak ada yang kamu tunggu-tunggu bagi kami, kecuali salah satu dari dua kebaikan. Dan kami menunggu-nunggu bagi kamu bahwa Allah akan menimpakan kepadamu azab (yang besar) dari sisi-Nya, atau (azab) dengan tangan kami. Sebab itu tunggulah, sesungguhnya kami menunggu-nunggu bersamamu.” (at-Taubah : 52)
Keempat: Mafsadat rojih.
Contohnya khomr (minuman keras) dan perjudian. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman:
يَسۡـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلۡخَمۡرِ وَٱلۡمَيۡسِرِۖ قُلۡ فِيهِمَآ إِثۡمٌ۬ ڪَبِيرٌ۬ وَمَنَـٰفِعُ لِلنَّاسِ وَإِثۡمُهُمَآ أَڪۡبَرُ مِن نَّفۡعِهِمَاۗ
Mereka bertanya kepadamu tentang khomr dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.” (al-Baqoroh : 219)
Oleh karena itu, Allah Subhaanahu wa Ta’ala kemudian melarangnya secara mutlak sebagaimana dalam firman-Nya:
يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡخَمۡرُ وَٱلۡمَيۡسِرُ وَٱلۡأَنصَابُ وَٱلۡأَزۡلَـٰمُ رِجۡسٌ۬ مِّنۡ عَمَلِ ٱلشَّيۡطَـٰنِ فَٱجۡتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khomr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (al-Ma‘idah : 90)
Faedah yang Dapat diambil dari Kaidah
Kaidah ini mengajarkan kita untuk selalu mencintai syari’at dan berprasangka baik pada pembuat syari’at yang mulia ini. Kita harus mencintai tiap hal yang diperintahkan kepada kita dan membenci tiap perkara yang dilarang kepada kita. Hal ini dengan terus meyakini bahwa setiap yang kita diperintahkan kita pasti bermanfaat, dan setiap yang dilarang pasti tidak bermanfaat.
Jangan sampai kita hanya menerima syari’at yang hanya sesuai dengan akal kita. Apalagi sampai mendahulukan akal kita dalam menerima syari’at. Kita harus meyakini bahwa akal kita terbatas. Sehingga semua syari’at yang sampai kita (yang benar-benar berasal dari Allah dan Rasul-Nya), harus kita terima walaupun masih belum sesuai dengan akal kita.
Kita harus mengingat perkataan yang mulia dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallaahu’anhu: “Andaikata agama itu cukup dengan ra’yu (akal), maka bagian bawah khuf (alas kaki) lebih utama untuk diusap daripada bagian atasnya. Aku benar-benar melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengusap bagian atas khuf-nya.” (HR. Abu Daud dengan sanad yang baik. Dalam Al-Talkhishul Habir, 1/160 Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Atsqalani berkata hadits ini shahih). Mengapa kita justru tidak mengusap bagian bawah khuf yang lebih berpotensi kotor? Hal ini karena kita beragama karena mengikuti syari’at dari Allah Subhaanahu wa Ta’ala, bukan karena mengikuti akal dan hawa nafsu kita.
Sebagai contoh, jika sampai kepada kita keterangan yang belum sesuai dengan akal kita seperti hadits berikut ini:
إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِي شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ ثُمَّ لِيَنْزِعْهُ فَإِنَّ فِي إِحْدَى جَنَاحَيْهِ دَاءً وَالْأُخْرَى شِفَاءً
”Apabila seekor lalat jatuh ke dalam gelas salah seorang dari kalian, maka celupkanlah lalat itu lalu angkatlah (buanglah) karena pada salah satu sayapnya terdapat penyakit dan pada sayap satunya terdapat obat.” [Shahîh al-Bukhârî, bâb Idzâ Waqo’a adz-Dzubâb fî Syarôbi Ahadikum, XI:99, hadîts no. 3073]
Barangkali, hadits ini sulit diterima oleh akal kita. Namun apakah kemudian karena tidak sesuai dengan akal, kemudian kita tidak menerimanya? Demi Allah, tidak! Misalkan, kita kemudian membaca suatu keterangan dari sebuah jurnal kesehatan yang sangat terkemuka, yang membenarkan isi dari hadits ini, kemudian kita baru ikut membenarkannya? Berarti kita lebih percaya kepada keterangan dari ilmuwan (makhluk) dibanding keterangan dari pencipta. Ini tentu sangat jauh dari akhlak seorang muslim.
Barangkali masih banyak keterangan yang masih belum sesuai dengan akal kita. Namun sikap kita adalah harus menerima segala keterangan tersebut. Apabila memang di kemudian hari ada pembuktian ilmiah yang membuktikannya, hal tersebut akan menguatkan kita dalam melaksanakan perintah-Nya dan juga larangan-Nya. Ingat, hanya sebagai penguat bukan sebagai patokan.
Seorang muslim harus selalu menerima dan membenarkan setiap keterangan yang datang dari Allah dan Rasul-Nya. Hadits tadi hanyalah salah satu contohnya. Karena kita meyakini bahwa tiap yang diperintahkan kepada kita pasti bermanfaat, dan yang dilarang kepada kita itu tidak bermanfaat. Ini adalah kaidah yang harus selalu diulang dan ditanamkan kepada diri kita masing-masing.
Apabila Maslahat dan Mafsadat Berbenturan
Masalah ini tidak lepas dari tiga kemungkinan:
Kemungkinan Pertama:
Benturan antara dua kemaslahatan yang tidak mungkin keduanya dikerjakan. Solusinya, kerjakanlah maslahat yang lebih besar meskipun dengan meninggalkan yang lebih kecil.
Contoh dari kemungkinan ini adalah jika saat kita masuk ke dalam masjid, kemudian melakukan shalat tahiyatul masjid (yang hukumnya sunnah). Dan saat itu juga, iqomah berkumandang tanda shalat fardhu berjama’ah akan dimulai. Karena shalat fardhu itu hukumnya wajib, maka kita harus memilih untuk meninggalkan yang sunnah untuk mendapatkan kemaslahatan yang lebih besar (shalat berjama’ah). Kita memilih untuk menghentikan sholat tahiyatul masjid dan melaksanakan shalat berjama’ah.
Contoh lain adalah saat Shalat Jum’at. Kita sampai di masjid pada saat adzan berkumandang. Kita mengetahui bahwa mendengar dan menjawab adzan hukumnya sunnah. Namun shalat tahiyatul masjid saat Shalat Jum’at adalah wajib. Dan mendengarkan khutbah juga hukumnya wajib. Demi mendapatkan kedua kewajiban tersebut, kita harus meninggalkan maslahat lain yang lebih kecil (mendengar dan menjawab adzan). Sehingga kita harus memilih langsung shalat tahiyatul masjid dan kemudian duduk.
Kemungkinan Kedua:
Benturan antara dua mafsadat yang tidak mungkin keduanya ditinggalkan. Solusinya, tinggalkanlah mafsadat yang lebih besar meskipun dengan mengerjakan mafsadat yang lebih kecil.
Contoh dari kasus ini adalah, misal kita berada di tengah hutan dan dalam kondisi yang sangat lapar, di mana jika kita tidak makan maka akan mati. Di hadapan kita ada bangkai kambing dan bangkai babi –yang keduanya haram dimakan-. Namun walau sama-sama haram, kita harus melihat bahwa kambing, secara zatnya (lidzatihi) itu halal. Namun haram karena sebab yang lain (lighairihi), karena tidak disembelih atas nama Allah. Sedangkan babi, itu haram secara zatnya. Sehingga pada saat tersebut, kita memilih untuk makan bangkai kambing itu, secukupnya.
Kemungkinan Ketiga:
Benturan antara maslahat dan mafsadat, dalam artian kalau ingin mengerjakan kemaslahatan tersebut maka mesti melakukan mafsadatnya. Jika hal ini yang terjadi maka secara umum dapat diuraikan sebagai berikut:
- Apabila mafsadatnya lebih besar dibanding maslahatnya, maka menghindari mafsadat itu dikedepankan daripada meraih kemaslahatan tersebut.
- Apabila maslahatnya jauh lebih besar dibandingkan dengan mafsadat yang akan timbul, maka meraih maslahat itu lebih diutamakan daripada menghindari mafsadatnya.
- Apabila maslahat dan mafsadat seimbang, maka secara umum saat itu menolak mafsadat lebih didahulukan daripada meraih kemaslahatan yang ada. Berdasarkan kaidah umum:
دَرْءُالْمَفَاسِدِأَوْلَىمِنْجَلْبِالْمَصَالِحِ
(Menghilangkan mafsadat itu lebih didahulukan daripada mengambil sebuah maslahat).
Wallaahu a’lam. Semoga kajian ini bermanfaat untuk kita semua, terutama untuk penyusun sendiri.
(Disusun oleh Fikri, di Athen 234, 23 September 2011, 2.20 PM)
Sumber dan rujukan:
- Qowaidul Fiqhiyyah: Kaedah-kaedah Praktis Memahami Fiqih Islami, Ahmad Sabiq bin Abu Yusuf, Pustaka Al-Furqon.
- Gerbang menuju Ilmu Kaidah Fiqih, http://addariny.wordpress.com/2009/05/28/pintunya-ilmu-kaidah-fikih/
- Kaidah Manfaat dan Mafsadat, http://www.alfurqon.co.id/kaidah-manfaat-dan-mafsadat/
- Ketika Agama telah Mengharamkan http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/ketika-agama-telah-mengharamkan.html
- Ceramah Lima Kaidah Besar Fiqih http://us.kajian.net/kajian-audio/Ceramah/Abu%20Ubaidah%20Yusuf%20As-Sidawi/Lima%20Kaidah%20Besar%20Ushul%20Fiqih%20(Kajian%20di%20Lombok)
- Ceramah Kaidah-Kaidah ilmu Fiqih http://us.kajian.net/kajian-audio/Ceramah/Ahmad%20Sabiq/Kaidah-Kaidah%20Ushul%20Fiqh%20(Kajian%20di%20Lombok)/
0 comments:
Post a Comment