Kunci Kebahagiaan Ada Tiga
Dalam bukunya yang sangat masyhur yang berjudul “qawaidul arba” (4 kaidah penting dalam memahami kesyirikan), Imam Muhammad bin Sulaiman at-Tamimi mengatakan:
“Semoga Allah menjadikan anda termasuk
diantara orang yang apabila dia diberi dia bersyukur, apabila diuji, dia
bersabar, dan apabila melakukan dosa, dia beristighfar. Karena tiga hal
ini merupakan tanda kebahagiaan.” (Qowaidul Arba’)
Bersyukur ketika mendapat nikmat
Dengan sikap ini, orang akan tetap mendapatkan tambahan nikmat dan keberkahannya. Sebagaimana janji Allah ta’ala, dalam firman-Nya:
“Jika kalian bersyukur maka sungguh Aku akan tambahkan untuk kalian, dan jika kalian kufur, sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih” (QS. Ibrahim: 7)
Hanya saja perlu kita ingat. Sikap ini
tidaklah
mudah. Kita baru bisa bersyukur, ketika kita merasa bahwa apa yang ada pada diri kita adalah pemberian Allah yang sudah sangat banyak. Dengan ini, kita tidak akan membandingkan kenikmatan yang ada pada diri kita dengan nikmat yang Allah berikan kepada orang yang lebih ‘sukses’ dari pada kita. Inilah kunci yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda :
mudah. Kita baru bisa bersyukur, ketika kita merasa bahwa apa yang ada pada diri kita adalah pemberian Allah yang sudah sangat banyak. Dengan ini, kita tidak akan membandingkan kenikmatan yang ada pada diri kita dengan nikmat yang Allah berikan kepada orang yang lebih ‘sukses’ dari pada kita. Inilah kunci yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda :
“Lihatlah kepada orang yang
(nikmatnya) lebih bawah dari pada kalian. Jangan melihat kepada orang
yang (nikmatnya) di atas kalian. Dengan ini, akan lebih memungkinkan,
agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah pada diri kalian.” (HR. Turmudzi dan dinilai shahih oleh al-Albani)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengakui bahwa manusia memiliki sifat hasad dan selalu menginginkan
nikmat yang Allah berikan kepada orang lain. Dengan sebab ini, orang
akan melupakan nikmat yang ada pada dirinya. Karena itu, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengarahkan kepada manusia agar menutup celah timbulnya perasaan ini,
dengan membandingkan keadaan dirinya dengan keadaan orang yang lebih
rendah kenikmatannya dari pada nikmat yang ada pada dirinya.
Bersabar ketika mendapat ujian
Ujian dan cobaan merupakan salah satu
bagian dalam kehidupan manusia. Tidak ada kenikmatan mutlak di alam
dunia ini. Sehebat apapun manusia, sekaya apapun dia, kenikmatan yang
dia rasakan akan bercampur dengan ujian dan cobaan. Namun, orang yang
beriman bisa mengkondisikan keadaan yang sejatinya pahit ini sebagai
bagian dari kebahagiaan. Itulah sikap sabar dan mengharap pahala dari
Allah ta’ala. Karena itu, semakin besar sikap sabar yang
dilakukan, semakin besar pula kebahagiaan yang dia rasakan. Barangkali,
inilah diantara rahasia bahwa semakin sempurna keimanan seseorang maka
semakin besar pula ujian yang Allah berikan kepadanya. Dinyatakan dalam
sebuah hadits, dari Anas bin Malik radliallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya besarnya pahala
sepadan dengan besarnya ujian. Sesungguhnya Allah, apabila mencintai
seseorang maka Allah akan mengujinya. Siapa yang ridha (dengan takdir
Allah) maka dia akan mendapatkan ridha (Allah). Siapa yang marah (dengan
takdir Allah) maka dia akan mendapatkan murka (Allah)” (HR. Turmudzi, Ibnu Majah, dan dinilai hasan shahih oleh al-Albani)
Diantara hikmah Allah memberikan ujian
kepada kaum mukminin adalah agar mereka tidak merasa bahwa kehidupan
dunia ini sebagai kenikmatan mutlak, sehingga mereka akan senantiasa
mengharapkan akhirat.
Memohon ampunan ketika berdosa
Bukanlah sifat orang mukmin yang
bertaqwa, sama sekali tidak memiliki dosa. Hamba beriman yang baik
adalah hamba yang ketika melakukan dosa dia segera bertaubat dan memohon
ampunan kepada Allah. Allah berfirman:
“(Orang yang bertaqwa) adalah
orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri
sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa
mereka” (QS. Ali Imran: 135)
Dan inilah bagian tabiat manusia yang
tidak bisa dihilangkan dari diri mereka. Akan tetapi, yang lebih penting
adalah bagaimana seorang mukmin bisa segera bertaubat ketika melakukan
dosa. Disebutkan dalam hadits, dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Demi Dzat Yang jiwaku berada di
tangan-Nya. Andaikan kalian sama sekali tidak melakukan dosa, Allah akan
menghilangkan kalian, kemudian Allah datangkan sekelompok orang yang
mereka melakukan perbuatan dosa kemudian bertaubat, lalu Allah
mengampuni mereka.” (HR. Muslim)
Hal inilah yang dirasakan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Para manusia mulia ini, khawatir, jangan-jangan termasuk orang munafik,
ketika mereka merasa lebih bertaqwa pada saat di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi ketika berada di rumah, mereka masih melekat dengan dunia.
Dari Abu Hurairah rahiiallahu ‘anhu,
bahwa para sahabat berkata: “Wahai Rasulullah, ketika kami melihat
anda, hati kami menjadi lunak, dan kami seolah menjadi penduduk akhirat.
Namun ketika kami jauh dari anda, kami menginginkan dunia dan bercanda
dengan para istri dan anak.” Kemudian beliau bersabda:
“Jika kalian setiap saat dalam
keadaan sebagaimana ketika kalian berada di dekatku (seolah menjadi
penduduk akhirat), niscaya para malaikat akan menyalami kalian dengan
telapak tangan mereka dan mengunjungi kalian di rumah kalian. Andai
kalian tidak pernah melakukan perbuatan dosa, niscaya Allah akan
mendatangkan kaum yang berdosa (kemudian bertaubat) agar Allah
mengampuni mereka” (HR. Ahmad, dan dinyatakan oleh Syu’aib al-Arnauth: Shahih dengan beberapa jalurnya). Allahu a’lam. [Ammi Nur Baits]
0 comments:
Post a Comment