Saturday, 1 October 2011

Sifat Ibadurrahman

Ngajikok Sabtu, 24 September 2011
Persiapan materi: Ibu Fadhila Hasby
Penyampaian materi: Ibu Annur Robithoh

Alhamdulillah, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

'Ibadurrahman yang dimaksud adalah hamba Allah yang beriman. Di akhir-akhir surat Al Furqan dijelaskan mengenai sifat 'ibadurrahman yang setiap muslim bisa memetik pelajaran di dalamnya. Pembahas ini akan dikaji lebih jauh dan disarikan oleh penulis dari berbagai kitab tafsir terkemuka.
Sifat pertama: Memiliki sifat tawadhu'
Allah Ta'ala berfirman, 
وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا
"Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu ialah orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik." (QS. Al Furqon: 63) 
Yang dimaksud "يمشون على الأرض هوناً " adalah mereka berjalan di muka bumi dalam keadaan tenang dan penuh kewibawaan. Lalu maksud firman Allah "وإذا خاطبهم الجاهلون ", yaitu ketika mereka diajak berbicara orang yang jahil yaitu dengan perkataan yang tidak menyenangkan. Hamba Allah yang beriman membalasnya dengan "سلاماً ", yaitu perkataan yang selamat dari dosa. (Aysarut Tafasir, 874)
Kata Ibnu Katsir rahimahullah, 
فأما هؤلاء فإنهم يمشون من غير استكبار ولا مرح، ولا أشر ولا بطر،
"Adapun mereka berjalan tidak dengan sifat angkuh dan sombong." (Tafsir Al Qur'an Al 'Azhim,10/319 ) 
Dalam tafsir Al Jalalain (365) disebutkan,
{ الذين يَمْشُونَ على الأرض هَوْناً } أي بسكينة وتواضع 
Mereka -ibadurrahman- berjalan di muka bumi dalam keadaan
'hawna' yaitu dalam keadaan tenang dan tawadhu'.
Yang dimaksud berjalan dalam keadaan 'hawnan' menurut Mujahid adalah, 
يمشون بالوقار والسكينة
"Berjalan dengan penuh kewibawaan dan ketenangan." (Zaadul Masiir, 6/101) 
Sifat kedua: Bersikap lemah lembut meski mendapatkan perlakuan kasar.

Ketika orang yang jahil berkata kasar pada mereka -'ibadurrahman-, mereka membalasnya dengan perkataan yang 'sadaad' (baik). (Zaadul Masiir, 6/101) 
Al Hasan Al Bashri rahimahullah berkata,
لا يجهلون على أحد ، وإِن جهل عليهم حَلُموا 
"Mereka 'ibadurrahman tidak menjahili (berbuat nakal pada orang lain). Jika dijahili, mereka malah membalasnya dengan sikap lemah lembut."
Maqotil bin Hayyan berkata, "Mereka membalasnya dengan perkataan yang tidak mengandung dosa." (Zaadul Masiir, 6/101) 
Sa'id bin Jubair berkata, "Mereka membalas (kejelekan) dengan perkataan yang baik." (Tafsir Al Qur'an Al 'Azhim, 10/321)
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, "Jika orang jahil mengajak bicara mereka yaitu dengan kejelakan, mereka tidak membalasnya dengan semisalnya. Bahkan mereka memberi maaf dan tidak membalas kecuali dengan kebaikan. Sebagaimana sikap Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, semakin orang yang jahil bertindak kasar pada beliau, semakin beliau berlaku lemah lembut pada mereka. Hal ini sebagaimana diisyaratkan pula pada firman Allah Ta'ala, 
وَإِذَا سَمِعُوا اللَّغْوَ أَعْرَضُوا عَنْهُ وَقَالُوا لَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ سَلامٌ عَلَيْكُمْ لا نَبْتَغِي الْجَاهِلِينَ
"Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: 'Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang yang jahil'." (QS. Al Qashash: 55) (Tafsir Al Qur'an Al 'Azhim, 10/320) 
Dalam ayat lain, Allah Ta'ala berfirman,
وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ (34) وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ (35) 
Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (QS. Fushilat: 34-35)
Sahabat yg mulia, Ibnu 'Abbas -radhiyallahu 'anhuma- mengatakan, "Allah memerintahkan pada orang beriman untuk bersabar ketika ada yang membuat marah, membalas dengan kebaikan jika ada yang buat jahil, dan memaafkan ketika ada yang buat jelek. Jika setiap hamba melakukan semacam ini, Allah akan melindunginya dari gangguan setan dan akan menundukkan musuh-musuhnya. Malah yang semula bermusuhan bisa menjadi teman dekatnya karena tingkah laku baik semacam ini." 
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, "Namun yang mampu melakukan seperti ini adalah orang yang memiliki kesabaran. Karena membalas orang yg menyakiti kita dengan kebaikan adalah suatu yang berat bagi setiap jiwa." (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 12/243)
Syaikh 'Abdurrahman bin Nashir As Sa'di rahimahullah berkata, "Inilah pujian bagi mereka -'ibadurrahman- karena sifat lemah lembut yang mereka miliki, kejelekan yang mereka balas dengan kebaikan, dan mereka pun membalas orang-orang yang jahil (nakal atau jahat)." (Taisir Al Karimir Rahman, 586)

----

Di antara sifat lainnya dari 'ibadurrahman -yaitu hamba Allah yang beriman- yang disebutkan dalam ayat selanjutnya dari surat Al Furqan yang kita ulas kemarin adalah rajin shalat malam. Yaitu mereka biasa melewati waktu malam mereka dengan shalat tahajud atau shalat malam.
Sifat ketiga: Rajin shalat malam

Allah Ta'ala berfirman,
وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا 
"Dan (mereka ibadurrahman adalah) orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Rabb mereka." (QS. Al Furqan: 64).
Kata "sujjada" adalah bentuk jamak dari kata "saajid" (ساجد ). Sedangkan "qiyama" (قياما), maksudnya adalah mereka (rajin) shalat lail (shalat malam). (Tafsir Al Jalalain, 365)
Syaikh 'Abdurrahman bin Nashir As Sa'di rahimahullah menjelaskan, "Mereka banyak mengerjakan shalat malam dengan ikhlas kepada Allah dalam keadaan tunduk pada-Nya." (Taisir Al Karimir Rahman, 586)
Ayat yang semisal dengan firman Allah di atas,
كَانُوا قَلِيلا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ وَبِالأسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ 
"Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam, dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah)." (QS. Adz Dzariyat: 17-18)
Juga firman Allah,
تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ 
"Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya (karena seringnya mereka melakukan shalat malam), sedang mereka berdo'a kepada Rabbnya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka." (QS. As Sajdah: 16)
Allah Ta'ala juga berfirman,
أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ 
"(Apakah kamu hai orang-orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada azab akhirat dan mengharapkan rahmat Rabbnya?" (QS. Az Zumar: 9)
Perkataan Salaf Tentang Shalat Malam
Motivasi lain agar semakin mendorong kita untuk giat shalat malam, silakan dilihat dalam perkataan para salaf berikut ini:
Mu'adz bin Jabal radhiyallahu 'anhu berkata, "Shalat hamba di tengah malam akan menghapuskan dosa." Lalu beliau membacakan firman Allah Ta'ala,
تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ 
"Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, ..." (HR. Imam Ahmad dalam Al Fathur Robbani 18/231. Bab "تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ ")
'Amr bin Al 'Ash radhiyallahu 'anhu berkata, "Satu raka'at shalat malam itu lebih baik dari sepuluh rakaat shalat di siang hari." (Disebutkan oleh Ibnu Rajab dalam Lathoif Ma'arif 42 dan As Safarini dalam Ghodzaul Albaab 2/498)
Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata, "Barangsiapa yang shalat malam sebanyak dua raka'at maka ia dianggap telah bermalam karena Allah Ta'ala dengan sujud dan berdiri." (Disebutkan oleh An Nawawi dalam At Tibyan 95)
Ada yang berkata pada Al Hasan Al Bashri , "Begitu menakjubkan orang yang shalat malam sehingga wajahnya nampak begitu indah dari lainnya." Al Hasan berkata, "Karena mereka selalu bersendirian dengan Ar Rahman -Allah Ta'ala-. Jadinya Allah memberikan di antara cahaya-Nya pada mereka."
Al Hasan Al Bashri juga mengatakan, "Sesungguhnya karena sebab dosa seseorang menjadi terhalang untuk shalat malam."
Abu Sulaiman Ad Darini berkata, "Orang yang rajin shalat malam di waktu malam, mereka akan merasakan kenikmatan lebih dari orang yang begitu girang dengan hiburan yang mereka nikmati. Seandainya bukan karena nikmatnya waktu malam tersebut, aku tidak senang hidup lama di dunia." (Lihat Al Lathoif 47 dan Ghodzaul Albaab 2/504)
Imam Ahmad berkata, "Tidak ada shalat yang lebih utama dari shalat lima waktu (shalat maktubah) selain shalat malam." (Lihat Al Mughni 2/135 dan Hasyiyah Ibnu Qosim 2/219)
Tsabit Al Banani berkata, "Saya merasakan kesulitan untuk shalat malam selama 20 tahun dan saya akhirnya menikmatinya 20 tahun setelah itu." (Lihat Lathoif Al Ma'arif 46). Jadi total beliau membiasakan shalat malam selama 40 tahun. Ini berarti shalat malam itu butuh usaha, kerja keras dan kesabaran agar seseorang terbiasa mengerjakannya.
Ada yang berkata pada Ibnu Mas'ud, "Kami tidaklah sanggup mengerjakan shalat malam." Beliau lantas menjawab, "Yang membuat kalian sulit karena dosa yang kalian perbuat." (Ghodzaul Albaab, 2/504)
Lukman berkata pada anaknya, "Wahai anakku, jangan sampai suara ayam berkokok mengalahkan kalian. Suara ayam tersebut sebenarnya ingin menyeru kalian untuk bangun di waktu sahur, namun sayangnya kalian lebih senang terlelap tidur." (Al Jaami' li Ahkamil Qur'an 1726)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, "Baiknya batin sebenarnya akan menampakkan baiknya lahiriyah walaupun seseorang tidak memiliki tampan yang elok. Sebenarnya, seseorang akan semakin elok karena semakin baiknya batin yang ia miliki. Seorang mukmin akan mendapatkan keelokan tersebut tergantung pada kadar imannya. Jika yang lain melihatnya, maka pasti akan menaruh perhatian padanya. Dan siapa saja yang berinteraksi dengannya, pasti akan mencintainya dikarena keelokan yang tampak ketika memandangnya. Maka boleh jadi engkau melihat orang yang sholeh dan sering berbuat baik serta memiliki akhlak yang mulai, engkau lihat kelakuannya sungguh amat baik, padahal boleh jadi wajahnya itu hitam dan kurang menarik. Lebih-lebih jika Allah memberinya karunia (dengan wajah yang cerah) karena dia giat shalat malam. Sungguh shalat malam itu akan membuat wajah semakin cerah dan indah kala dipandang." (Roudhotul Muhibbin, 221)
Moga shalat malam bukan hanya jadi rutinitas tatkala di bulan Ramadhan saja. Amalan yang terbaik dan dicintai oleh Allah adalah yang terus dijaga kontinu di bulan Ramadhan dan di bulan lainnya. Sungguh keutamaan shalat malam amat luar biasa. Dapat mencerahkan dan memperindah wajah seseorang. Sebagaimana kata sebagian salaf,
مَنْ كَثُرَتْ صَلاَتُهُ بِاللَّيْلِ حَسُنَ وَجْهُهُ بِالنَّهَارِ
"Siapa yang banyak shalatnya di malam hari, wajahnya akan begitu berseri di siang hari." Dan masih banyak keutamaan shalat malam lainnya yang dapat dirasakan di dunia, bahkan lebih nikmatnya lagi ketika di akhirat kala berjumpa dengan Ar Rahman. Semoga kita bisa meraih sifat 'ibadurrahman yang satu ini. Semoga Allah memudahkannya.

----

Sifat 'ibadurrahman, yaitu hamba Allah yang beriman adalah berlindung dari siksa neraka. Itulah yang mendorong seseorang itu untuk beramal agar terlindung dari siksa neraka. Ayat yang akan kita bahas kali ini menjadi dalil kelirunya keyakinan orang sufi bahwa tidak dikatakan ikhlas dalam beramal jika seseorang mengharap surga dan takut dari siksa neraka.
Allah Ta'ala berfirman,
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا (65) إِنَّهَا سَاءَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا (66)
"Dan orang-orang yang berkata: "Ya Rabb kami, jauhkan azab jahannam dari kami, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal". Sesungguhnya jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman. " (QS. Al Furqan: 65-66)
Siksa yang Amat Pedih di Jahannam
Yang dimaksudkan dengan 'ghoroma' (غَرَامًا ) dalam ayat di atas adalah adzab yang kekal, demikian kata Ibnu Katsir rahimahullah (Tafsir Al Qur'an Al 'Azhim, 10: 321).
Ibnul Jauzi berkata bahwa 'ghoroma' (غَرَامًا ) ada lima pendapat dalam hal ini yang pendapat-pendapat tersebut hampir sama maknanya. Ghoroma berarti:
1. Selamanya (دائماً ). Demikian diriwayatkan dari Abu Sa'id Al Khudri.
2. Siksa yang menyakitkan (موجِعاً ), diriwayatkan oleh Adh Dhohak dari Ibnu 'Abbas.
3. Siksa yang melelahkan (مُلِحّاً ). Demikian dikatakan oleh Ibnu As Saib. 
4. Siksa yang membinasakan (هلاكاً ). Demikian disebutkan oleh Abu 'Ubaidah.
5. Secara bahasa berarti siksa yang amat pedih. Demikian disebutkan oleh Az Zujaj. (Zaadul Masiir, 6: 102)
Jahannam Sejelek-Jelek Tempat Tinggal
Allah Ta'ala berfirman,
إِنَّهَا سَاءَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا 
"Sesungguhnya jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman." Yang dimaksud ayat ini bahwasanya jahannam adalah sejelek-jelek tempat menetap. (Zaadul Masiir, 6: 102 dan Tafsir Al Jalalain, 365). Dapat kita katakan bahwa jahannam adalah sejelek-jelek tempat tinggal (Tafsir Ath Thobari, 17: 496-497).
Berlindung dari Siksa Neraka
Jahannam adalah di antara nama neraka. Ayat ini dengan jelas menunjukkan bahwa sifat orang beriman ('ibadurrahman), mereka berlindung dari siksa neraka atau siksa jahannam. Dan ayat ini sekaligus bantahan pada keyakinan orang sufi yang nyatakan bahwa orang yang beramal karena ingin surga dan takut neraka adalah orang yang tidak ikhlas. Justru kita katakan bahwa orang yang ikhlas adalah orang yang beramal demikian.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
وَطَلَبُ الْجَنَّةِ وَالِاسْتِعَاذَةِ مِنْ النَّارِ طَرِيقُ أَنْبِيَاءِ اللَّهِ وَرُسُلِهِ وَجَمِيعِ أَوْلِيَائِهِ السَّابِقِينَ الْمُقَرَّبِينَ وَأَصْحَابِ الْيَمِينِ
Meminta surga dan berlindung dari siksa neraka adalah jalan hidup para Nabi Allah, utusan Allah, seluruh wali Allah, ahli surga yang terdepan (as sabiqun al muqorrobun) dan ahli surga pertengahan (ash-habul yamin).” (Majmu' Al Fatawa, 10/701). Sebagai dalil penguat adalah berbagai dalil berikut ini.
Setelah menyebutkan berbagai kenikmatan di surga dalam surat Al Muthaffifin, Allah Ta'ala pun memerintah untuk berlomba-lomba meraihnya,
وَفِي ذَلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ 
Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba. ” (QS. Al Muthaffifin: 26). Bagaimana mungkin dikatakan tidak ikhlas, sedangkan kita sendiri diperintahkan oleh Allah untuk berlomba-lomba meraih surga?!
Sifat orang beriman adalah beribadah dengan khouf (takut) dan roja' (harap). Allah Ta'ala berfirman,

أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا
Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti. ” (QS. Al Israa': 57)
Allah Ta'ala berfirman,
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (191) رَبَّنَا إِنَّكَ مَنْ تُدْخِلِ النَّارَ فَقَدْ أَخْزَيْتَهُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ (192) رَبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلْإِيمَانِ أَنْ آَمِنُوا بِرَبِّكُمْ فَآَمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الْأَبْرَارِ (193) رَبَّنَا وَآَتِنَا مَا وَعَدْتَنَا عَلَى رُسُلِكَ وَلَا تُخْزِنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّكَ لَا تُخْلِفُ الْمِيعَادَ (194) 
(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. Ya Tuhan kami, sesungguhnya barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka sungguh telah Engkau hinakan ia, dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolongpun.   Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu): "Berimanlah kamu kepada Tuhanmu", maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang banyak berbakti. Ya Tuhan kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan rasul-rasul Engkau. Dan janganlah Engkau hinakan kami di hari kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji. ” (QS. Ali Imron: 191-194). Demikian sifat ulil albab berlindung dari siksa neraka.
Di antara yang dikatakan oleh orang sufi adalah perkataan, “Jika aku beribadah pada Allah karena mengharap surga-Nya dan karena takut akan siksa neraka-Nya, maka aku adalah pekerja yang jelek. Tetapi aku hanya ingin beribadah karena cinta dan rindu pada-Nya.” Di antara yang mengatakan seperti ini adalah Robi'ah Al Adawiyah. Padahal Allah menceritakan mengenai Asiyah, istri Fir'aun yang beriman meminta pada Allah rumah di surga. Allah Ta'ala berfirman,

وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِلَّذِينَ آَمَنُوا اِمْرَأَةَ فِرْعَوْنَ إِذْ قَالَتْ رَبِّ ابْنِ لِي عِنْدَكَ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ وَنَجِّنِي مِنْ فِرْعَوْنَ وَعَمَلِهِ وَنَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
Dan Allah membuat isteri Fir'aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: "Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam firdaus, dan selamatkanlah aku dari Fir'aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim. ” (QS. At Tahrim: 11). Padahal Asiyah lebih utama dari Robi'ah Al Adawiyah, namun ia pun masih meminta pada Allah surga.
Nabi Ibrahim 'alaihis salam pun meminta surga. Sebagaimana do'a Nabi Ibrahim  -kholilullah/ kekasih Allah-,
وَاجْعَلْنِي مِنْ وَرَثَةِ جَنَّةِ النَّعِيمِ (85) وَاغْفِرْ لِأَبِي إِنَّهُ كَانَ مِنَ الضَّالِّينَ (86) وَلَا تُخْزِنِي يَوْمَ يُبْعَثُونَ
Dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang mempusakai surga yang penuh kenikmatan, dan ampunilah bapakku, karena sesungguhnya ia adalah termasuk golongan orang-orang yang sesat, dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan.” (QS. Asy Syu'ara: 85-87)
Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam pun meminta surga. Dari Abu Sholih, dari beberapa sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bertanya kepada seseorang, “Do'a apa yang engkau baca di dalam shalat?”
أَتَشَهَّدُ وَأَقُولُ اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ الْجَنَّةَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ النَّارِ أَمَا إِنِّى لاَ أُحْسِنُ دَنْدَنَتَكَ وَلاَ دَنْدَنَةَ مُعَاذٍ
Aku membaca tahiyyat, lalu aku ucapkan 'Allahumma inni as-alukal jannah wa a'udzu bika minannar' (aku memohon pada-Mu surga dan aku berlindung dari siksa neraka). Aku sendiri tidak mengetahui kalau engkau mendengungkannya begitu pula Mu'adz”, jawab orang tersebut. Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Kami sendiri memohon surga (atau berlindung dari neraka).” (HR. Abu Daud no. 792, Ibnu Majah no. 910, dan Ahmad (3/474). Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Lalu adakah yang berani katakan bahwa nabinya sendiri tidak ikhlas?
Tanggapan dari Ibnu Taimiyah
Mengenai perkataan sebagian sufi,
لَمْ أَعْبُدْكَ شَوْقًا إلَى جَنَّتِكَ وَلَا خَوْفًا مِنْ نَارِكَ
Aku tidaklah beribadah pada-Mu karena menginginkan surga-Mu dan takut pada neraka-Mu”, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah telah memberikan jawaban,
“Perkataan ini muncul karena sangkaannya bahwa surga sekedar nama tempat yang akan diperoleh berbagai macam nikmat. Sedangkan neraka adalah nama tempat yang mana makhluk akan mendapat siksa di dalamnya. Ini termasuk mendeskreditkan dan meremehkan yang dilakukan oleh mereka-mereka karena salah paham dengan kenikmatan surga. Kenikmatan di surga adalah segala sesuatu yang dijanjikan kepada wali-wali Allah dan juga termasuk kenikmatan karena melihat Allah. Yang terakhir ini juga termasuk kenikmatan di surga. Oleh karenanya, makhluk Allah yang paling mulia selalu meminta surga pada Allah dan selalu berlindung dari siksa neraka.” (Majmu' Al Fatawa, 10/240-241)
Melihat wajah Allah di akhirat kelak, itulah kenikmatan yang paling besar dan istimewa dari kenikmatan lainnya. Dari Shuhaib, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
« إِذَا دَخَلَ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ - قَالَ - يَقُولُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى تُرِيدُونَ شَيْئًا أَزِيدُكُمْ فَيَقُولُونَ أَلَمْ تُبَيِّضْ وُجُوهَنَا أَلَمْ تُدْخِلْنَا الْجَنَّةَ وَتُنَجِّنَا مِنَ النَّارِ - قَالَ - فَيَكْشِفُ الْحِجَابَ فَمَا أُعْطُوا شَيْئًا أَحَبَّ إِلَيْهِمْ مِنَ النَّظَرِ إِلَى رَبِّهِمْ عَزَّ وَجَلَّ ».
Jika penduduk surga memasuki surga, Allah Ta'ala pun mengatakan pada mereka, “Apakah kalian ingin sesuatu sebagai tambahan untuk kalian?” “Bukankah engkau telah membuat wajah kami menjadi berseri, telah memasukkan kami ke dalam surga dan membebaskan kami dari siksa neraka?”, tanya penduduk surga tadi. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Allah pun membuka hijab (tirai). Maka mereka tidak pernah diberi nikmat yang begitu mereka suka dibanding dengan nikmat melihat wajah Rabb mereka 'azza wa jalla.” (HR. Muslim no. 181)
Kalimat Simpulan
Yang namanya ikhlas adalah seseorang beramal dengan mengharap segala apa yang ada di sisi Allah, yaitu mengharap surga dengan segala kenikmatannya (baik bidadari, berbagai buah, sungai di surga, rumah di surga, dsb), termasuk pula dalam hal ini adalah ingin melihat Allah di akhirat kelak. Begitu pula yang namanya ikhlas adalah seseorang beribadah karena takut akan siksa neraka. Inilah yang namanya ikhlas.
Jika seseorang tidak memiliki harapan untuk meraih surga dan takut akan neraka, maka semangatnya dalam beramalnya pun jadi lemah. Namun jika seseorang dalam beramal selalu ingin mengharapkan surga dan takut akan siksa neraka, maka ia pun akan semakin semangat untuk beramal dan usahanya pun akan ia maksimalkan.
----

'Ibadurrahman sekali lagi adalah hamba Allah yang beriman. Sifat mereka adalah pertengahan dalam membelanjakan harta.
Allah Ta'ala berfirman,
وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا
"Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.  " (QS. Al Furqan: 67).
Dalam tafsir Al Jalalain menyebutkan bahwa sifat 'ibadurrahman adalah ketika mereka berinfak pada keluarga mereka tidak berlebihan dan tidak pelit. Mereka membelanjakan harta mereka di tengah-tengah keadaan berlebihan dan meremahkan. Intinya infak mereka bersifat pertengahan.
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa sifat 'ibadurrahman adalah mereka tidak mubadzir (boros) kala membelanjakan harta mereka, yaitu membelanjakannya di luar hajat (kebutuhan). Mereka tidak bersifat lalai sampai mengurangi dari kewajiban sehingga tidak mencukupi. Intinya mereka membelanjakan harta mereka dengan sifat adil dan penuh kebaikan. Sikap yang paling baik adalah sifat pertengahan, tidak terlalu boros dan tidak bersifat kikir. Hal ini senada dengan firman Allah Ta'ala,
وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا
"Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. " (QS. Al Isra': 29). Maksud ayat ini adalah jangan terlalu pelit dan jangan terlalu pemurah (berlebihan). Dalam hadits dho'if (namun maknanya benar) disebutkan,
مِنْ فِقْهِ الرَّجُلِ رِفْقُهُ فِى مَعِيشَتِهِ
"Di antara tanda cerdasnya seseorang adalah bersikap pertengahan dalam penghidupan (membelanjakan harta)." (HR. Ahmad 5/194. Syaikh Syu'aib Al Arnauth katakan bahwa sanad hadits ini dho'if)
Para salaf mengatakan perkataan semisal di atas. Iyas bin Mu'awiyah berkata,
ما جاوزت به أمر الله فهو سرف
"Melampaui dari yang Allah perintahkan sudah disebut berlebihan."
Ulama selain beliau mengatakan,
السرف النفقة في معصية الله
"Sikap berlebihan (dalam membelanjakan harta) adalah menafkahkan harta dalam maksiat kepada Allah."
Al Hasan Al Bashri mengatakan,
ليس النفقة في سبيل الله سرفا 
"Nafkah yang dibelanjakan di jalan Allah tidak disebut boros (berlebihan)". Semua perkataan salaf di atas dinukil dari Tafsir Al Qur'an Al 'Azhim karya Ibnul Katsir.
Pembelanjaan harta di atas mencakup zakat, penunaian kafarot dan nafkah yang wajib maupun yang sunnah, kata Syaikh As Sa'di.
Semoga Allah menganugerahkan pada kita sifat pertengahan dalam membelanjakan harta dan menjauhkan kita dari sifat berlebihan (boros) serta sifat kikir (pelit). Wallahu waliyyut taufiq.
----
Beberapa saat yang lalu kami telah mengupas tafsir surat Al Furqon di ayat-ayat terakhir. Sekarang kita lanjutkan dengan bahasan tafsir surat tersebut di ayat 72 yang membahas tentang sifat hamba Allah yang beriman lainnya yaitu enggan menghadiri acara maksiat.

Allah Ta'ala berfirman,
وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
"Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya." (QS. Al Furqon: 72)
Tidak Menghadiri Acara Maksiat
 Mengenai maksud ayat,
وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ 
ada 8 pendapat ulama yang disebutkan oleh Ibnul Jauzi mengenai tafsiran ayat tersebut.
1. Yang dimaksud dengan az zuur adalah shonam (berhala) milik orang musyrik. Demikian pendapat Adh Dhohahk dari Ibnu 'Abbas.
2. Yang dimaksud dengan az zuur adalah ghina' (nyanyian). Yang menafsirkan seperti ini adalah Muhammad bin Al Hanafiyah, dan Makhul. Diriwayatkan dari Laits dari Mujahid, ia berkata bahwa yang dimaksud adalah mereka tidak mendengarkan nyanyian.
3. Yang dimaksud az zuur adalah syirik. Demikian dikatakan oleh Adh Dhohak dan Abu Malik. Artinya di sini mereka tidak menghadiri perbuatan kesyirikan.
4. 'Ikrimah berkata bahwa yang dimaksud az zuur adalah permainan di masa jahiliyah.
5. Qotadah dan Ibnu Juraij berkata bahwa yang dimaksud az zuur adalah kedustaan.
6. 'Ali bin Abi Tholhah berkata bahwa yang dimaksud az zuur adalah persaksian palsu. Hal ini sebagaimana penafsiran yang kami bawakan di awal tulisan.
7. Yang dimaksud az zuur adalah perayaan orang musyrik. Demikian pendapat Ar Robi' bin Anas.
8. Yang dimaksud az zuur adalah majelis khianat. Demikian kata 'Amr bin Qois. (Zaadul Masiir, 6/109)
Pendapat-pendapat di atas menyebutkan macam-macam perbuatan zur dan tidak saling bertentangan. Sehingga tafsiran-tafsiran tersebut bisa memaknakan ayat di atas. Intinya, hamba beriman tidaklah mengahadiri acara maksiat. Maka kita dapat maknakan ayat tersebut:
- sifat hamba beriman tidak menghadiri perbuatan syirik dan berhala orang musyrik.
- sifat hamba beriman tidak menghadiri perayaan non muslim, yaitu tidak menghadiri acara natal, tahun baru, valentine, dan imlek. Jika tidak menghadiri acara-acara tersebut, maka berarti tidak merayakannya.
- sifat hamba beriman juga tidak menghadiri perbuatan maksiat seperti majelis berisi dusta, pengkhianatan dan persaksian palsu.
- sifat hamba beriman juga tidak menghadiri acara musik atau konser musik, terserah acara tersebut berisi nyanyian atau lagu rock, dangdut, pop dan termasuk pula yang berbau religi yang diiringi alat musik (biasa disebut nasyid).

Syaikh 'Abdurrahman bin Nashir As Sa'di rahimahullah berkata, "Hamba Allah yang beriman tidaklah menghadiri az zuur, yang dimaksud adalah perkataan dan perbuatan yang haram. Mereka benar-benar menjauhi majelis yang terdapat perkataan dan perbuatan yang haram, seperti melecehkan ayat Allah, debat kusir, berdebat yang batil, ghibah (menggunjing orang), namimah (mengadu domba), mencela, menuduh dusta, mempermainkan ayat Allah, mendengarkan nyanyian haram, meminum khomr, bertelekan di permadani sutra, di tempat yang terdapat gambar makhluk bernyawa dan selainnya. Jika mereka tidak menghadiri perbuatan-perbuatan haram tadi, tentu saja mereka tidak mengatakan atau melakukannya." (Taisir Al Karimir Rahman, 587)
Bertemu dengan yang Berbuat Laghwu
Ayat selanjutnya menyebutkan,
وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
yang dimaksud dengan laghwu ada lima pendapat:
1. Perbuatan maksiat, demikian kata Al Hasan.
2. Perbuatan menyakiti orang musyrik, demikian kata Mujahid.
3. Perbuatan batil (tidak ada faedah), demikian kata Qotadah.
4. Syirik,  demikian kata Adh Dhohak.
5. Jika mengingat nikah dan perbuatan menggembirakan, demikian kata Mujahid dan Muhammad bin 'Ali.
Ketika mereka melewati orang yang berbuat maksiat, berbuat syirik atau yang perbuatan yang tidak berfaedah, maka balasan mereka,
مَرُّوا كِرَاماً 
yang dimaksud dengan ayat ini ada 3 pendapat:
1. Berjalan dengan penuh lemah lembut, demikian kata Ibnu As Saib.
2. Mereka berpaling, demikian kata Maqotil.
3. Jika mereka orang yang melakukan hal yang tidak berfaedah, mereka melampauinya. Demikian kata Al Faro'.
Ringkasnya, maksud ayat di atas bahwasanya hamba beriman tidaklah bermaksud menghadiri dan tidak pula mendengar perbuatan yang haram. Namun jika mereka tidak sengaja menemukan hal-hal maksiat tersebut, mereka memuliakan diri mereka dengan menjauh darinya. Demikian keterangan Syaikh As Sa'di (Taisir Al Karimir Rahman, 587). Dari keterangan beliau ini, hamba beriman bukanlah orang yang berniatan menghadiri perbuatan maksiat, termasuk perayaan non muslim atau majelis sia-sia yang terdapat nyanyian. Namun jika mereka tidak sengaja menghadirinya, mereka benar-benar menjauhinya. Semoga Allah memudahkan kita menjadi hamba yang benar-benar memiliki sifat demikian.

sumber:

 

0 comments:

Post a Comment