Monday, 3 October 2011

SYUBHAT DI DALAM KEIMANAN

Ngajikok Sabtu, 1 Oktober 2011
Pemateri: Bapak Seno Purnomo

Syubhat artinya samar, kabur, atau tidak jelas. Penyakit syubhat yang menimpa hati seseorang akan merusakkan ilmu dan keyakinannya. Sehingga jadilah “perkara ma’ruf menjadi samar dengan kemungkaran, maka orang tersebut tidak mengenal yang ma’ruf dan tidak mengingkari kemungkaran. Bahkan kemungkinan penyakit ini menguasainya sampai dia menyakini yang ma’ruf sebagai kemungkaran, yang mungkar sebagai yang ma’ruf, yang sunnah sebagai bid’ah, yang bid’ah sebagai sunnah, al-haq sebagai kebatilan, dan yang batil sebagai al-haq”. [Tazkiyatun Nufus, hal: 31, DR. Ahmad Farid]
Menurut Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah penyebab fitnah ini adalah lantaran lemahnya iman seseorang dan sedikitnya ilmu yang dimilikinya disamping niat yang rusak dan gelora mengikuti hawa nafsu yang membara dalam jiwanya. (Ighatsatul Lahfan 2/584).
1.       Syubhat di dalam keimanan kepada Allah
a.       Beriman kepada Allah, tetapi juga beribadah kepada sesembahan yang lain
Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia. Maka tatkala Dia menyelamatkan kamu ke daratan, kamu berpaling. Dan adalah manusia itu selalu tidak berterima kasih”. (QS. Al Israa’ :67)
Buatlah untuk kami suatu tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai tuhan-tuhan ‎‎(berhala).” (QS.Al A’raaf:138).
Dan ucapan beberapa sahabat:
‏( اجْعَلْ لَنَا ذَاتَ أَنْوَاطٍ )‏
Buatlah untuk kami dzaatu anwaath (nama sebuah Pohon).”
Mendengar ucapan itu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam lalu bersumpah, bahwasanyaucapan bani Israil “buatlah untuk kami sebuah tuhan ‎‎(berhala).”
 ucapan itu serupa dengan
b.      Syubhat dalam nama dan sifat Allah
·         Tidak boleh ada Penyimpangan (tahrif), Penolakan (ta’thil), Pembahasan bagaimana bentuk nama dan sifat Allah (takyif), Menyamakan Allah dengan makhluk-Nya
·         Jumlah sebenarnya dari asma’ul husna adalah tidak diketahuidan tidak dibatasi dengan bilangan. Sesungguhnya Allah Ta’ala memiliki asma’ dan sifat yang hanya Dia sendiri yang mengetahui dalam ilmu ghaib yang ada di sisi-Nya. Malaikat yang dekat dan Nabi yang diutus tidak ada yang mengetahuinya sebagaimana dalam hadits shahih,
Aku memohon kepada-Mu dengan seluruh asma’-Mu yang Engkau telah namakan untuk diri-Mu, atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu atau Engkau ajarkan kepada seseorang diantara makhluk-Mu atau masih dalam rahasia ghaib pada-Mu yang hanya Engkau sendiri yang mengetahuinya” (HR. Ahmad I/391, dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam Takhrij al Kalimatuth Thayyib)
Adapun sabda Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam,
Inna lillaHi tis’atan wa tis’iinasman mi-atan illa waahidan man ah-shaaHaa dakhalal jannaH” yang artinya “Sesungguhnya Allah memiliki 99 asma’, seratus kurang satu, barangsiapa yang menghitungnya niscaya ia masuk surga” (HR. al Bukhari, Muslim, at Tirmidzi, Ibnu Majah dan lainnya)
Hadits ini adalah satu jumlah, dan sabda beliau, “Barangsiapa yang dapat menghitungnya niscaya ia masuk ke dalam Surga”. Ini adalah sifat, bukan kalimat yang menunjukkan masa yang akan datang, maksudnya Dia memiliki asma’ yang terhitung, barangsiapa yang dapat menghapalnya niscaya dia akan masuk surga.
Namun hal ini tidak menafikan kalau dia memiliki asma yang lainnya.
Lajnah Daa-imah yang dipimpin oleh Syaikh bin Baz juga telah memberikan fatwa (no. 3862/1401 H) bahwasannya bukanlah yang dimaksud hadits ini bahwa asma’ Allah hanya 99 saja, karena susunan kalimatnya tidak menunjukkan makna hasr (pembatasan), namun yang dimaksud adalah pemberitahuan dari Allah Ta’ala tentang beberapa keistimewaan asma’ Allah dan penjelasan besarnya balasan bagi yang menghapalnya. Dan yang memperkuat pendapat ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaHu ‘anHu (telah disebutkan haditsnya di atas).
2.       Syubhat di dalam keimanan kepada Malaikat
a.       Nama nama malaikat
 -   Jibriil (جبريل)
Allah ta’ala berfirman :
 Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula” [QS. At-Tahriim : 4].
Jibriil ‘alaihis-salaam juga disebut sebagai Ar-Ruuh, sebagaimana firman-Nya :
Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Ar-Ruuh (Jibriil) dengan ijin Tuhannya untuk mengatur segala urusan” [QS. Al-Qadar : 4].
Juga sebagai Ar-Ruuhul-Amiin, sebagaimana firman-Nya :
Dia dibawa turun oleh Ar-Ruuh Al-Amin (Jibriil), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan” [QS. Asy-Syu’araa’ : 193-194].
Juga sebagai Ar-Ruuhul-Qudus, sebagaimana firman-Nya :
 Katakanlah : “Ruuhul-Qudus (Jibriil) menurunkan Al Quran itu dari Tuhanmu dengan benar, untuk meneguhkan (hati) orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)” [QS. An-Nahl : 102].
-       Miikaail (ميكائيل)
Allah ta’ala berfirman :
Barangsiapa yang menjadi musuh Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Rasul-Rasul-Nya, Jibriil dan Mikaiil, maka sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir” [QS. Al-Baqarah : 98].
Dari Sa’d, ia berkata : “Di hari terjadinya perang Uhud, aku melihat dua orang berpakaian putih-putih. Masing-masing berada di kanan dan kiri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang aku tidak pernah melihat keduanya sebelum dan sesudah itu.Mereka ialah Jibriil dan Mikail ‘alaihimas-salaam” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2306].
-       Israafiil (إسرافيل)
Dari ‘Aaisyah bahwasannya ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Allaahumma Rabba Jibraaiila wa Miikaala wa Rabb Israafiila, A’uudzu bika min Harrin-Naari wa min ‘Adzaabil-Qabri (Ya Allah, Rabb Jibriil dan Mika’il, Rabb Israafiil, aku berlindung kepada-Mu dari panasnya api neraka dan siksa kubur)” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 5519; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahih Sunan An-Nasaa’iy 3/479, Maktabah Al-Ma’aarif, Cet. 1/1419].
Ia lah malaikat yang diberikan tugas oleh Allah ta’ala untuk meniup sangkakala kelak di hari kiamat. Allah ta’ala berfirman :
Dan (ingatlah) hari (ketika) ditiup sangkakala, maka terkejutlah segala yang di langit dan segala yang di bumi, kecuali siapa yang dikehendaki Allah.Dan semua mereka datang menghadap-Nya dengan merendahkan diri” [QS. An-Naml : 87].
Ibnu Katsiir rahimahullah berkata :
Allah ta’ala mengkhabarkan tentang keterkejutan manusia pada hari ditiupnya sangkakala. Hal itu sebagaimana terdapat dalam sebuah hadits : ‘sangkakala ditiup pada waktu itu’. Dan dalam hadits sangkakala tersebut dinyatakan bahwa Israafiil-lah yang meniupnya dengan perintah Allah ta’ala.Tiupan pertama adalah tiupan yang mengejutkan, hingga cukup lama waktunya dan hal itu terjadi di akhir umur dunia ketika kiamat terjadi, menimpa manusia-manusia terburuk.Maka saat itu terkejutah penghuni langit dan bumi. ‘Kecuali siapa yang dikehendaki Allah’…..” [Tafsir Ibni Katsiir, 10/436; Muassasah Qurthubah, Cet. 1/1421].
-       Maalik (مالك)
Ia adalah malaikat penjaga neraka. Allah ta’ala berfirman :
 Mereka berseru : ‘Hai Maalik, biarlah Tuhanmu membunuh kami saja’. Dia menjawab : ‘Kamu akan tetap tinggal (di neraka ini)” [QS. Az-Zukhruf : 77].
Dari Samurah, ia berkata : Telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Aku bermimpi pada suatu malam, ada dua laki-laki yang datang kepadaku. Keduanya berkata : ‘Malaikat yang menyalakan api adalah Maalik sebagai penunggu neraka, sedangkan aku adalah Jibriil dan ini Miikaa’iil” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3236].
-       Zabaniyyah (زبانية)
Allah ta’ala berfirman :
 Maka biarlah dia memanggil golongannya (untuk menolongnya), kelak Kami akan memanggil malaikat Zabaniyah, sekali-kali jangan, janganlah kamu patuh kepadanya; dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan)” [QS. Al-‘Alaq : 17-19].
Dari ‘Ikrimah, dari Ibnu Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa tentang ayat : ‘Kami akan memanggil malaikat Zabaaniyah’ (QS. Al-’Alaq 18), ia berkata : “Abu Jahl berkata : ‘Apabila aku melihat Muhammad sedang melakukan shalat, niscaya akan aku injak lehernya’. Kemudian Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata : ‘Seandainya ia melakukannya niscaya para Malaikat akan menyambarnya dengan jelas” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 3348; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahih Sunan At-Tirmidziy 3/373, Maktabah Al-Ma’aarif, Cet. 1/1420].
-       Munkar dan Nakiir (المنكر والنكير)
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Jika salah seorang dari kalian dikuburkan, maka akan datang kepadanya dua malaikat yang hitam dan kedua mata mereka biru. Salah satunya bernama Munkar dan yang lainnya bernama Nakiir. Keduanya bertanya : ‘Apakah pendapatmu mengenai lelaki ini ?’. Lalu dia menjawab sebagaimana yang pernah dikatakan dahulu : ‘Dia adalah hamba Allah dan Rasul-Nya. Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang hak selain Allah dan Muhammad adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya’. Keduanya berkata : ‘Kami sudah mengetahui bahwa kamu akan mengucapkan demikian’. Kemudian kuburnya dilapangkan seluas tujuh puluh hasta dikali tujuh puluh hasta. Lalu diterangi dan dikatakan kepadanya : ‘Tidurlah’. Dia berkata : ‘Biarkanlah aku kembali kepada keluargaku untuk mengabarkan kepada mereka’. Keduanya berkata : ‘Tidurlah seperti pengantin yang tidak dibangunkan kecuali oleh orang yang paling dia cintai’. Hingga Allah membangkitkannya dari tempat tidurnya. Adapun seorang munafik berkata : ‘Aku hanya mendengar orang-orang mengatakanya lalu aku ikut mengatakannya. Aku tidak tahu’. Keduanya berkata : ‘Kami sudah tahu mengatakan demikian’. Lalu dikatakan kepada bumi : ‘Himpitlah dia !’. Lantas bumi menghimpitnya hingga persendiannya hancur.Dan dia terus diadzab di dalamnya hingga Allah membangkitkan dari tempat tidurnya” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1071; dihasankan oleh Al-Albaaniy dalam Shahih Sunan At-Tirmidziy 1/544].
-       Haaruut dan Maaruut (هاروت وماروت)
Allah ta’ala berfirman :
Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Haaruut dan Maaruut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan : ‘Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir’. Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudarat dengan sihirnya kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah.Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudarat kepadanya dan tidak memberi manfaat.Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang siapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui” [QS. Al-Baqarah : 102].
-       Malaikat penjaga syurga dan neraka
Dan orang-orang yang bertakwa kepada Tuhan dibawa ke dalam Surga berombong-rombong (pula).Sehingga apabila mereka sam-pai ke Surga itu sedang pintu-pintunya telah terbuka dan berkata-lah kepada mereka penjaga-penjaganya, ‘Kesejahteraan (dilim-pahkan) atasmu, berbahagialah kamu!maka masukilah Surga ini, sedang kamu kekal didalamnya.” (Az-Zumar:73).
Tahukah kamu apakah (Neraka) Saqar itu?Saqar itu tidak me-ninggalkan dan tidak membiarkan.(Neraka Saqar) adalah pem-bakar kulit manusia.Di atasnya ada sembilan belas (malaikat penjaga).Dan tiada Kami jadikan penjaga Neraka itu melainkan malaikat.” (Al-Muddatstsir: 27-30).
Malaikat yang diperselisihkan:
1.         Ridlwaan (رضوان)
Ibnu Katsiir rahimahullah berkata :
“Dan penjaga surga adalah malaikat yang bernama Ridlwaan.Telah ada penjelasannya dalam beberapa hadits” [Al-Bidaayah wan-Nihaayah, 1/53, Maktabah Al-Ma’aarif, Cet. 1/1394].
Akan tetapi, beberapa peneliti (muhaqqiq) mengatakan nama ini tidak tsabt dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Wallaahu a’lam.
2.   Tidak ada riwayat shahih yang menyebutkan nama malaikat dengan ‘Izraaiil.
3.   Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa di antara malaikat ada yang bernama Raqiib dan ‘Atiid dengan bersandar ayat :
 “(Yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya Raqiib ‘Atiid (malaikat pengawas yang selalu hadir)” [QS.Qaaf : 17-18].
Namun itu tidak benar, sebab raqiib ‘atiid merupakan sifat bagi dua malaikat pencatat amal yang selalu hadir dan menyaksikan apa apa yang diperbuat manusia dalam kehidupannya.
b.      Kedudukan malaikat
  -  Bukan laki-laki dan bukan perempuan
  -  Tidak makan dan minum
  -  Tidak merasa letih dan jenuh
  -  Tempat tinggalnya di langit
3.       Syubhat di dalam keimanan kepada Kitab-Kitab
a.       Kedudukan kitab-kitab dalam sebelum Al-Qur’an
[1]. Mengimani bahwa benar-benar diturunkan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.
[2]. Mengimani kitab-kitab yang sudah kita kenali namanya, seperti Al-Qur'an yang diturunkan kepada nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa Alaihimus Sallam, Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa Alaihimus Sallam, dan Zabur yang diturunkan kepada nabi Daud Alaihimus Sallam. Adapun kitab-kitab yang tidak kita ketahui namanya, kita mengimaninya secara global.
[3]. Membenarkan seluruh beritanya yang benar, seperti berita-berita yang ada di dalam Al Qur'an, dan berita-berita kitab-kitab terdahulu yang belum diganti atau belum diselewengkan.
[4]. Mengerjakan seluruh berita yang belum dinasakh (dihapus) serta rela dan menyerah pada hukum itu, baik kita memahami hikmahnya atau tidak. Seluruh kitab terdahulu telah dinasakh oleh Al Qur'anul Adhim, seperti firman-Nya.
      "Artinya : Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya), dan sebagai batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu" [Al Maidah: 48]
      Oleh karena itu tidak dibenarkan mengerjakan hukum apapun dari kitab-kitab terdahulu, kecuali yang benar dan ditetapkan Al Qur'an.
b.      Kedudukan Al-Qur’an
AlQur’an adalah kalam Allah.
Imam Syafi’i rahimahullah juga mengatakan bahwa al Qur’an adalah kalam Allah, bukan makhluk. Dan barangsiapa yang mengatakan al Qur’an makhluk, maka ia kafir. Imam Ahmad bin Hanbal pun mengatakan hal sama dalam Ushulus Sunnah
Pendapat yang salah :
·         Pertama. Perkataan Jahmiyah
Mereka mengatakan, bahwa Allah tidak berbicara, tetapi Allah menciptakan perkataan pada diri selain-Nya dan menjadikan yang selain-Nya itu menjadi pengungkap perkataan Allah. Disebutkan suatu perkataan sebagai perkataan Allah-menurut mereka-adalah majaz (kiasan), bukan hakiki, sebab Allah lah yang telah menciptakan perkataan itu, sehingga Dia disebut sebagai Yang berkata, karena Dialah pencipta perkataan itu pada diri selain-Nya.
·         Kedua. Perkataan Kullabiyah, para pengikut ‘Abdullah bin Sa’id bin Kullab
Mereka beranggapan bahwa al Qur’an merupakan hikayat dari kalam Allah.Karena kalam Allah menurut mereka adalah ma’na yang ada pada Dzat Allah yang senantiasa tetap pada-Nya, sebagaimana tetapnya sifat hidup dan sifat ilmu pada Dzat Allah.Tidak berkaitan dengan kehendak dan iradah Allah.Makna yang ada pada Dzat Allah ini bukan makhluk.Tetapi lafadz-lafadz yang keluar yang terdiri dari huruf dan suara adalah makhluk.Lafadz-lafadz ini merupakan hikayat dari kalam Allah, dan bukan kalam Allah itu sendiri.
·         Ketiga. Perkataan kaum Asy’ariyah, orang-orang yang mengaku pengikut Imam Abu al Hasan al Asy’ari rahimahullah
Mereka mengatakan bahwa al Qur’an adalah ungkapan tentang kalam Allah. Sebab kalam Allah menurut mereka adalah: Ma’na yang ada pada dzat Allah. Ma’na ini bukan makhluk.Adapun lafadz-lafadz yang dibaca, merupakan ungkapan tentang makna yang ada pada Dzat Allah.Lafadz-lafadz ini adalah makhluk.Ia merupakan ungkapan dari kalam Allah dan tidak dikatakan hikayat dari kalam Allah.
·         Keempat. Perkataan Mu’tazilah
Mereka mengatakan bahwa, kalam Allah hanyalah huruf tanpa makna. Menurut mereka, apa yang disebut perkataan atau kalam, ketika dinyatakan secara mutlak hanyalah nama bagi suatu lafadz saja. Sedangkan makna bukan merupakan bagian dari apa yang disebut kalam. Makna hanyalah sesuatu yang ditunjukkan oleh apa yang disebut kalam.
c.       Ayat muhkamat dan ayat mutasyabihat
Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu.Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat. Itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat.” (Qs. Ali Imran: 7)
Diterjemah al Qur’an yang diterbitkan oleh Depag RI terdapat penjelasan yang bagus dan gamblang tentang dua istilah ini.Ayat yang muhkamaat ialah ayat-ayat yang terang dan tegas maksudnya, dapat dipahami dengan mudah.
Termasuk dalam pengertian ayat-ayat mutasyaabihaat: ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam; atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan yang ghaib-ghaib misalnya ayat-ayat yang mengenai hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain.
·         Hakiki, yaitu apa yang tidak dapat diketahui dengan nalar manusia, seperti hakikat sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Walau kita mengetahui makna dari sifat-sifat tersebut, namun kita tidak pernah tahu hakikat dan bentuknya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
·         Relatif, yaitu ayat-ayat yang tersamar maknanya untuk sebagian orang tapi tidak bagi sebagian yang lain. Artinya dapat dipahami oleh orang-orang yang mendalam ilmunya saja.
4.       Syubhat di adalam keimanan kepada Nabi dan Rasul

a.       jumlah Nabi tidaklah terbatas hanya 25 orang dan jumlah Rasul juga tidak terbatas 5 yang kita kenal dengan nama Ulul ‘Azmi. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Dzar Al-Ghifari, ia bertanya pada Rasulullah, “Ya Rasulullah, berapa jumlah rasul?”, Nabi shallallahu’alaihiwasallam menjawab, “Tiga ratus belasan orang.” (HR. Ahmad dishahihkan Syaikh Albani). Dalam riwayat Abu Umamah, Abu Dzar bertanya, “Wahai Rasulullah, berapa tepatnya para nabi?”, Nabi shallallahu’alaihiwasallam menjawab, “124.000 dan Rasul itu 315 orang.” Namun terdapat pendapat lain dari sebagian ulama yang menyatakan bahwa jumlah Nabi dan Rasul tidak dapat kita ketahui. Wallahu’alam.
Oleh karena itulah, walaupun dalam Al-Qur’an hanya disebut 25 nabi, maka kita tetap mengimani secara global adanya Nabi dan Rasul yang tidak dikisahkan dalam Al-Qur’an. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada yang tidak Kami ceritakan kepadamu.” (QS. Al-Mu’min 40:78).
Ditampakkan kepadaku umat-umat, aku melihat seorang nabi dengan sekelompok orang banyak, dan nabi bersama satu dua orang dan nabi tidak bersama seorang pun.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi juga menyampaikan wahyu kepada umatnya. Ulama lain menyatakan bahwa ketika Nabi tidak diperintahkan untuk menyampaikan wahyu bukan berarti Nabi tidak boleh menyampaikan wahyu. Wallahu’alam. Perbedaan yang lebih jelas antara Nabi dan Rasul adalah seorang Rasul mendapatkan syari’at baru sedangkan Nabi diutus untuk mempertahankan syari’at yang sebelumnya.
Ada 2 nabi yang diriwayatkan secara shahih yaitu Yusa’ bin Nun dan Syits. Nabi Yusa’ bin Nun adalah pemimpin Bani Israil setelah Nabi Musa meninggal. Dia disebutkan juga dalam kisah Nabi Musa bertemu dengan Khidhir.Sedangkan Nabi Syits adalah putra Nabi Adam, kakek dari Nabi Idris.
b.      Mengimani sebagian nabi dan rasul, tetapi mengingkari sebagiannya pula
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-Nya dan bermaksud membeda-bedakan antara Allah dan Rasul-rasul-Nya (beriman kepada Allah, tidak beriman kepada rasul-rasul-Nya), dengan mengatakan: “kami beriman kepada sebahagian (dari rasu-rasul itu), dan kafir terhadap sebahagian (yang lain), “serta bermaksud (dengan perkataan itu) mangambil jalan antara yang demikian (iman atau kafir), merekalah orang-orang yang kafir sebenarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir itu siksaan yang menghinakan.”(QS. An Nisa’:150-151).
c.       Khidhir ‘alaihissalam
·   Nabi atau wali?
Ø  Pendapat ini mengatakan, ia hanyalah seorang hamba yang shalih, 'alim dan diberi ilham, sebab Allah subhanahu wata’ala menyebutnya sebagai orang yang diberi ilmu, memiliki ibadah khusus, dan sifat-sifat baik lainnya sementara tidak menyebutkan bahwa ia seorang Nabi atau Rasul. Ada pun firman Allah subhanahu wata’ala di akhir kisah melalui ucapan al-Khidhir ’alaihis salam, yang artinya, "Dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri." (QS.al-Kahf:82), maka ini tidak menunjukkan bahwa ia seorang nabi, tetapi menunjukkan adanya ilham dan pembicaraan.
Di antara ulama yang mengatakan pendapat seperti ini adalah al-Qurthubi rahimahullah (al-Qurthubi, XI: 28), Abu al-Qasim al-Qusyairi (ar-Risalah al-Qusyairiyyah, hal.161), al-Yafi'i (Nasyr al-Mahasin al-'Aliyah, hal.48-70) dan kebanyakan kaum Sufi!?
Ø  Ibn Katsir rahimahullah di dalam kitabnya, al-Bidayah Wa an-Nihayah mengatakan, "Alur kisah dalam ayat menunjukkan kenabiannya. Hal ini dapat dilihat dari bebeberapa aspek:
Pertama, Firman-Nya, artinya, "Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami." (QS. Al-Kahf: 65)
Ke dua, Ucapan Nabi Musa ’alaihis salam kepadanya, "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu.” Dia menjawab, 'Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku.Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuat, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu.”Musa berkata, “Insya Allah kamu akan mendapatkanku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentang mu dalam sesuatu urusan pun. Dia berkata, 'Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun, sampai aku sendiri menerangkan nya kepadamu.” (QS. al-Kahf: 66-70)
Ke tiga, al-Khidhir ’alaihis salam telah berani membunuh seorang bocah. Ini jelas karena adanya wahyu dari malaikat.Ini merupakan dalil tersendiri atas kenabiannya dan bukti yang jelas atas ke-ma'shuman-nya sebab seorang wali tidak boleh membunuh jiwa semata-mata hanya karena seruan hatinya sebab hatinya tidak wajib ma'shum.
Ke empat, "Dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. "Yakni, tidaklah aku melakukan itu karena kemauan sendiri, tetapi aku diperintahkan dan diberi wahyu." (al-Bidayah, Juz.I, hal.328)
·   Apakah masih hidup?
Ø  Yang benar menurut para ulama adalah bahwa Nabi Khidir telah wafat sebelum Allah Subhanahu wa Ta'ala mengutus Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana tersebut dalam firmanNya Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusia pun sebelum kamu (Muhammad), maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal ?". [Al-Anbiya : 34]
d.      Dzulqarnain
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku tidak tahu secara pasti apakah Tuba’ itu seorang nabi ataukah bukan.Aku juga tidak tahu secara pasti apakah Dzulqarnain itu seorang nabi ataukah bukan.Aku juga tidak tahu secara pasti apakah hudud (potong tangan untuk pencuri dan semisalnya) itu menghapus dosa ataukah tidak?”[HR Hakim no 104. al Hakim mengatakan, “Hadits ini adalah hadits yang shahih sesuai dengan kriteria Bukhari dan Muslim dan aku tidak mengetahui adanya cacat padanya”.Penilaian Hakim ini disetujui oleh Adz Dzahabi dan al Albani dalam Silsilah Shahihah jilid 5 hal 251 no 2271].
e.       Bolehkah sebagian orang keluar dari syari’at nabi Muhammad?
Ada orang yang beranggapan bahwa sebagian orang yang dianggap wali boleh meninggalkan perkara yang wajib, seperti shalat, atau boleh melakukan hal yang dilarang dalam agama, karena mereka dianggap mengetahui hakikat dari ajaran Islam, atau mereka dianggap mendapat ‘ilham’ dari Allah yang mengizinkan mereka melakukan hal-hal tersebut. Kita, orang-orang biasa, seolah ‘haram’ memprotes perbuatan nyeleneh sang wali karena kita sebagai orang biasa dianggap tidak mengetahui hakikat dibalik perbuatan sang wali tersebut.
Biasanya mereka memberi contoh kasus Nabi Khidir ‘alaihissalam. Nabi Khidir membocorkan perahu dan membunuh seorang anak, yang tentu menurut syariat yang dibawa Nabi Musa ketika itu adalah perbuatan maksiat, namun dibalik perbuatan Nabi Khidir tersebut ternyata beliau diberi ilham oleh Allah untuk melakukannya. Dan ketika Nabi Khidir melakukan perbuatan tersebut, Nabi Musa ‘alaihissalam tidak mengetahui alasan yang mendasari perbuatan ‘maksiat’ tersebut.
Adapun setelah Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam di utus, seluruh manusia wajib mengikuti syari’at yang beliau bawa, tanpa kecuali. Allah Ta’ala berfirman:
Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia” (QS. Al Anbiya: 107)
Sehingga tidak ada ‘wali’ yang halal untuk meninggalkan perkara yang wajib atau melakukan perkara yang haram, ia wajib tunduk kepada ajaran agama
5.       Syubhat di dalam keimanan kepada Hari akhir
a.       Kapan hari kiyamat?
"Sesungguhnya hari kiamat itu akan datang Aku merahasiakan (waktunya) agar supaya tiap-tiap diri itu dibalas dengan apa yang ia usahakan." (Thaha: 15)
Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: "Bilakah terjadinya?" Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Rabbku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. Kiamat itu amat berat (huru haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. Kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba."Mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang bari kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (Al-A'raf: 187)
b.      Mengimani tanda-tanda besar hari akhir
"Diutusku dan kiamat bagaikan jarak dua jari ini." (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Beliau mengisyaratkan dengan dua jarinya, jari tengah dan jari telunjuknya.
Tanda tanda kecil
Perhatikanlah enam tanda-tanda hari Kiamat: (1) wafatku, (2) penaklukan Baitul Maqdis, (3) wabah kematian (penyakit yang menyerang hewan sehingga mati mendadak) yang menyerang kalian bagaikan wabah penyakit qu’ash yang menyerang kambing, (4) melimpahnya harta hingga seseorang yang diberikan kepadanya 100 dinar, ia tidak rela menerimanya, (5) timbulnya fitnah yang tidak meninggalkan satu rumah orang Arab pun melainkan pasti memasukinya, dan (6) terjadinya perdamaian antara kalian dengan bani Asfar (bangsa Romawi), namun mereka melanggarnya dan mendatangi kalian dengan 80 kelompok besar pasukan. Setiap kelompok itu terdiri dari 12 ribu orang.”
Kemudian munculnya tanda-tanda yang kedua, yaitu tanda-tanda Kiamat yang besar sebagai tanda telah dekatnya hari Kiamat.Penulis khususkan pembahasan tentang sebagian tanda-tanda Kiamat yang besar, karena ada sebagian orang (golongan) yang menolak tentang tanda-tanda besar tersebut berdasarkan akal, ra’yu dan hawa nafsu.Padahal para ulama Ahlus Sunnah sudah membahas permasalahan ini dalam kitab-kitab tafsir, kitab-kitab hadits, dan kitab-kitab ‘aqidah mereka.
Tanda tanda besar
“Tidak akan terjadi hari qiamat sehingga kamu melihat sebelumnya sepuluh macamtanda-tandanya”. Kemudian beliau menyebutkannya: “Asap, Dajjal, binatang, terbitmatahari dari tempat tenggelamnya, turunnya Isa bin Maryam a.s, Ya’juj dan Ma’juj, tigakali gempa bumi, sekali di timur, sekali di barat dan yang ketiga di Semenanjung Arabyang akhir sekali adalah api yang keluar dari arah negeri Yaman yang akan menghalau
manusia kepada Padang Mahsyar mereka”. (HR Muslim)
“Tanda-tanda kiamat kubra itu sebagiannya datang secara beruntun dan dapat diketahui, dan sebagaian yang lain tidak beruntun dan tidak diketahui runtutannya. Di antara yang datang secara beruntun adalah turunnya Nabi Isa putra Maryam dan keluarnya Ya’juj dan Ma’juj serta Dajjal.Dajjal dibangkitkan, kemudian Nabi Isa ‘alaissalaam turun untuk membunuhnya, keluarnya Ya’juj dan Ma’juj.
6.       Syubhat di dalam keimanan kepada Takdir Allah
a.       Kewajiban seorang hamba dalam masalah ini ialah mengimani qadha' Allah dan qadar-Nya, serta mengimani syari'at, perintah dan larangan-Nya. Ia berkewajiban untuk membenarkan khabar (berita) dan mentaati perintah
b.      Keimanan kepada qadar tidaklah memperkenankan pelaku kemaksiatan untuk beralasan dengannya atas kewajiban yang ditinggalkannya atau kemaksiatan yang dikerjakannya.
"Orang-orang yang mempersekutukan Allah, akan mengatakan, 'Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apa pun.'Demikian pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (para Rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanya berdusta".[Al-An-'aam: 148]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, "Tidak boleh seseorang berdalih dengan takdir atas dosa (yang dilakukannya) berdasarkan kesepakatan (ulama) kaum muslimin, seluruh pemeluk agama, dan semua orang yang berakal. Seandainya hal ini diterima (dibolehkan), niscaya hal ini dapat memberikan peluang kepada setiap orang untuk melakukan perbuatan yang merugikannya, seperti membunuh jiwa, merampas harta, dan seluruh jenis kerusakan di muka bumi, kemudian ia pun beralasan dengan takdir. Ketika orang yang beralasan dengan takdir dizhalimi dan orang yang menzhaliminya beralasan yang sama dengan takdir, maka hal ini tidak bisa diterima, bahkan kontradiksi. Pernyataan yang kontradiksi menunjukkan kerusakan pernyataan tersebut. Jadi, beralasan dengan qadar itu sudah dimaklumi kerusakannya di permulaan akal"
c.       Diizinkan berdalih dengan qadar pada saat musibah menimpa manusia, seperti kefakiran, sakit, kematian kerabat, matinya tanaman, kerugian harta, pembunuhan yang tidak disengaja, dan sejenisnya, karena hal ini merupakan kesempurnaan ridha kepada Allah sebagai Rabb. Maka berdalih dengan takdir hanyalah terhadap musibah, bukan pada perbuatan aib.
“Orang yang berbahagia, ia akan beristighfar dari perbuatan aib dan bersabar terhadap musibah, sebagaimana firman-Nya:
Maka bersabarlah kamu, karena sesungguhnya janji Allah itu benar, dan mohonlah ampunan untuk dosamu… .’ [Al-Mu'-min: 55]
Sedangkan orang yang celaka, ia akan bersedih ketika menghadapi musibah, dan berdalih dengan qadar atas perbuatan aib (yang dilakukannya).”

Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda, “Nabi Adam dan Nabi Musa berbantah-bantahan, Nabi Musa berkata kepadanya, ‘Engkau Adam, kesalahanmulah yang telah mengeluarkanmu dari surga?’ Nabi Adam menjawab, ‘Engkau Musa yang dipilih oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala dengan risalahNya dan engkau berbicara secara langsung denganNya, akankah engkau mencelaku atas suatu perkara yang telah ditakdirkan atasku sebelum aku diciptakan? Maka, nabi Adam dapat membantah nabi Musa”. (HR. Muslim).
Berdasarkan hadits di atas, jelaslah bahwa Adam tidak berdalih dengan takdir atas kemaksiatan yang dilakukannya, akan tetapi ia hanya berdalih dengan takdir atas dikeluarkannya beliau dari surga, dan nabi Musa tidak mencela nabi Adam atas dosanya, karena nabi Adam telah memohon ampun kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan bertobat.
Perhatikanlah contoh berikut ini; seandainya seseorang membunuh orang lain tanpa sengaja, kemudian orang lain mencelanya dan beralasan dengan takdir, maka alasannya diterima, tetapi hal itu tidak menghalanginya untuk diberi sanksi. Tetapi seandainya seseorang membunuh yang lain dengan sengaja, kemudian pembunuh dikecam dan dicela atas pebuatannya itu, lalu ia berdalih dengan takdir, alasannya itu tidak bisa diterima.
d.      Melakukan sebab-sebab itu tidak menafikan iman kepada qadar, bahkan melakukannya merupakan kesempurnaan iman kepada qadha' dan qadar.
Nash-nash al-Qur-an dan as-Sunnah berisikan perintah untuk melakukan upaya-upaya yang disyari’atkan dalam berbagai urusan kehidupan: memerintahkan bekerja, berusaha mencari rizki, me-nyiapkan peralatan untuk menghadapi musuh, berbekal untuk perjalanan, dan lain sebagainya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
"Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi…" [Al-Jumu’ah: 10]
e.       Iman kepada qadar -sebagaimana yang telah disinggung- tidak menafikan keadaan hamba dalam memiliki kehendak pada perbuatan-perbuatan yang dipilihnya dan mempunyai kuasa terhadapnya. Hal itu ditunjukkan oleh syari'at dan fakta.
Dalam syar'at, dalil-dalil mengenai hal itu sangat banyak sekali, di antaranya firman Allah Ta'ala.
".maka barangsiapa yang menghendaki,niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Rabb-nya."[An-Naba': 39]
Juga firman-Nya yang lain.
"..maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.." [Al-Baqarah: 223]
Sumber :
3.       Majalah As Sunnah Edisi 03/Tahun XI/1428H/2007M
6.       http://www.muslim.or.id/

0 comments:

Post a Comment