1. Niat
Jika telah masuk bulan Ramadhan, wajib atas setiap muslim untuk berniat puasa pada malam harinya karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من لم يجمع الصيام قبل الفجر فلا صيام له
“Barangsiapa yang tidak berniat puasa sebelum fajar, maka tiada baginya puasa itu.” (Riwayat Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, dan al-Baihaqy dari Hafshah binti Umar)
Niat tempatnya di hati sedang melafalkannya itu termasuk kebid’ahan. Kewajiban berniat puasa pada malam hari khusus untuk puasa wajib saja.
2. Waktu Puasa
Adapun waktu puasa dimulai dari terbit fajar subuh sampai terbenam matahari dengan dalil firman Allah,
“Dan makan dan minumlah kalian sampai jelas bagi kalian putihnya siang dan hitamnya malam dari fajar.” (QS. Al-Baqarah, 2:186)
Dan perlu diketahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa fajar ada dua:
a. Fajar Kazib (fajar awal). Dalam waktu ini belum boleh dilakukan solat subuh dan dibolehkan untuk makan dan minum bagi yang berpuasa.
b. Fazar Shodiq (fajar yang kedua/subuh) sebagaimana hadits Ibnu Abbas radhiallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الفجر فجران: فأما الأول فإنه لا يحرم الطعام ولا يحل الصلاة وأما الثاني فإنه يحرم الطعام و يحل الصلاة
“Fajar itu ada dua. Adapun yang pertama, maka dibolehkan makan dan tidak boleh melakukan sholat, sedang yang kedua, maka diharamkam makan dan dibolehkan sholat.” (Riwayat Ibnu Khuzaimah, al-Hakim, ad-Daruqutny, dan al-Baihaqy dengan sanad yang sahih)
Untuk mengenal keduanya dapat dilihat dari bentuknya. Fajar yang pertama, bentuknya putih memanjang vertikal seperti ekor serigala. Sedangkan fajar yang kedua, berwarna merah menyebar horisontal (melintang) di atas lembah-lembah dan gunung-gunung dan merata di jalanan dan rumah-rumah, dan jenis ini yang ada hubungannya dengan puasa.
Jika tanda-tanda tersebut telah tampak, maka hentikanlah makan dan minum serta bersetubuh. Sedangkan adat yang ada dan berkembang saat ini – yang dikenal dengan nama imsak – merupakan satu kebidahan yang seharusnya ditinggalkan. Dalam hal ini, al-Hafizh Ibnu Hajar – seorang ulama besar dan ahli hadits yang bermazhab Syafi’i yang meninggal tahun 852 H – berkata dalam kitabnya yang terkenal Fath al-Bary Syarh al-Jami’ ash-Shohih (4/199), “Termasuk kebidahan yang mungkar adalah apa yang terjadi pada masa ini, yaitu mengadakan azan yang kedua kira-kira sepertiga jam sebelum fajar dalam bulan Ramadhan dan mematikan lentera-lentera sebagai alamat untuk menghentikan makan dan minum bagi yang ingin berpuasa, dengan persangkaan bahwa apa yang mereka perbuat itu demi kehati-hatian dalam beribadah. Hal seperti itu tidak diketahui, kecuali dari segelintir orang saja. Hal tersebut membawa mereka untuk tidak azan, kecuali setelah terbenam beberapa waktu (lamanya) untuk memastikan (masuknya) waktu-menurut persangkaan mereka- lalu mengakhirkan buka puasa dan mempercepat sahur. Maka mereka telah menyelisihi sunnah Rasulullah. Oleh karena itu, sedikit sekali kebaikan mereka dan lebih banyak kejelekan pada diri mereka. الله المستعان .”
Setelah jelas waktu fajar, maka kita menyempurnakan puasa sampai terbenam matahari lalu berbuka sebagaimana disebutkan dalam hadits Umar radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إذا أقبل الليل من ههنا و أدبر النهار من ههنا وغربت الشمس فقد أفطر الصائم
“Jika telah datang waktu malam dari arah sini dan pergi waktu siang dari arah sini serta telah terbenam matahari, maka orang yang berpuasa telah berbuka.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)
Waktu berbuka tersebut dapat dilihat dengan datangnya awal kegelapan dari arah timur setelah hilangnya bulatan matahari secara langsung. Semua itu dapat dilihat dengan mata telanjang tidak memerlukan alat teropong untuk mengetahuinya.
3. Sahur
3.1. Hikmahnya
Setelah mewajibkan berpuasa dengan waktu dan hukum yang sama dengan yang berlaku bagi orang-orang sebelum mereka, maka Allah mensyariatkan sahur atas kaum muslimin dalam rangka membedakan puasa mereka dengan puasa orang-orang sebelum mereka, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Sa’id al-Khudriy:
فصل ما بين صيامنا وصيام أهل الكتاب أكلة السحور
“Yang membedakan antara puasa kita dengan puasa ahli kitab adalah makan sahur.” (Riwayat Muslim)
3.2. Keutamaannya
Keutamaan sahur antara lain:
1. Sahur adalah berkah sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إنها بركة أعطاكم الله إياها فلا تدعوه
“Sesungguhnya dia adalah berkah yang diberikan Allah kepada kalian, maka jangan kalian meninggalkannya.” (Riwayat an-Nasai dan Ahmad dengan sanad yang sahih)
Sahur sebagai suatu berkah dapat dilihat dengan jelas karena sahur itu mengikuti sunnah dan menguatkan orang yang berpuasa serta menambah semangat untuk menambah puasa dan juga mengandung nilai menyelisihi ahli kitab.
2. Shalawat dari Allah dan malaikat bagi orang yang bersahur, sebagaimana yang ada dalam hadits Abu Sa’id al-Khudry radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
السحور أكلة البركة، فلا تدعوه ولو أن يجرع أحدكم جرعة من ماء فإن الله وملائكته يصلون على المتسحرين
“Sahur adalah makanan berkah, maka jangan kalian tinggalkan walaupun salah seorang dari kalian hanya meneguk seteguk air, karena Allah dan para malaikat bersalawat atas orang-orang yang bersahur.” (Riwayat Ibnu Abu Syaibah dan Ahmad)
3.3. Sunnah Mengakhirkannya
Disunnahkan memperlambat sahur sampai mendekati subuh (fajar) sebagaimana yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits Ibnu Abbas radhiallahu’anhu dari Zaid bin Tsabit, beliau berkata,
“Kami bersahur bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau pergi untuk solat.” Aku (Ibnu Abbas) bertanya, “Berapa lama antara azan dan sahur?” Beliau menjawab, “Sekitar 50 ayat.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
3.4. Hukumnya
Sahur merupakan sunnah yang muakkad dengan dalil:
a. Perintah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk itu sebagaimana hadits yang terdahulu dan juga sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:
تسحروا فإن في السحور بركة
“Bersahurlah karena dalam sahur terdapat berkah.” (Riwayat al-Bukhariy dan Muslim)
b. Larangan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dari meninggalkannya sebagaimana hadits Abu Sa’id yang terdahulu. Oleh karena itu, al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fath al-Bary (3/139) menukilkan ijmak atas kesunnahannya.
4. Perkara-Perkara yang Membatalkan Puasa
Di dalam puasa ada perkara-perkara yang merusaknya, yang harus dijauhi oleh seorang yang berpuasa pada siang harinya. Perkara-perkara tersebut adalah:
a. Makan dan minum dengan sengaja sebagaimana yang difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Dan makanlah dan minumlah kalian sampai jelas baggi kalian benang putih siang dari benang hitam malam dari fajar.” (QS. Al-Baqarah, 2:186)
b. Sengaja untuk muntah (muntah dengan sengaja).
c. Haid dan nifas.
d. Injeksi yang berisi makanan (infus).
e. Bersetubuh.
Kemudian ada perkara-perkara lain yang harus ditinggalkan oleh seorang yang berpuasa, yaitu:
1. Berkata bohong sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan berkata bohong dan beramal dengannya, maka Allah tidak butuh dengan usahanya meninggalkan makan dan minum.” (Riwayat al-Bukhari)
2. Berbuat kesia-siaan dan kejahatan (kejelekan) sebagaimana disebutkan dalam hadits
Abu Hurairah radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الأَكْلِ وَالشَّراَبِ إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ، فَإِنْ سَابَكَ أَحَدٌ أَوْ جَهِلَ عَلَيْكَ فَقُلْ إِنِّيْ صَائِمٌ إِنِّيْ صَائِمٌ
“Bukanlah puasa itu (menahan diri) dari makan dan minum. Puasa itu hanyalah (menahan diri) dari kesia-siaan dan kejelekan, maka kalau seseorang mencacimu atau berbuat kejelekan kepadamu, maka katakanlah, ‘Saya sedang puasa. Saya sedang puasa.’” (Riwayat Ibnu Khuzaimah dan al-Hakim)
5. Perkara-Perkara yang Dibolehkan
Ada beberapa perkara yang dianggap tidak boleh padahal dibolehkan, di antaranya:
- a. Orang yang junub sampai datang waktu fajar sebagaimana disebutkan dalam hadits Aisyah dan Ummu Salamah, keduanya berkata: “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan fajar (subuh) dalam keadaan junub dari keluarganya kemudian mandi dan berpuasa.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)
- Bersiwak.
- Berkumur dan memasukkan air ke hidung ketika bersuci.
- Bersentuhan dan berciuman bagi orang yang berpuasa dan dimakruhkan bagi orang-orang yang berusia muda.
- Injeksi yang bukan berupa makanan.
- Berbekam.
- Mencicipi makanan selama tidak masuk ke tenggorokan.
- Memakai penghitam mata (celak) dan tetes mata.
- Menyiram kepala dengan air dingin dan mandi.
Sesungguhnya agama Islam adalah agama yang mudah. Oleh karena itu, ia memberikan kemudahan dalam puasa ini kepada orang-orang tertentu yang tidak mampu atau sangat sulit untuk berpuasa. Mereka itu adalah sebagai berikut:
- Musafir (orang yang sedang dalam perjalanan/bepergian ke luar kota).
- Orang yang sakit.
- Wanita yang sedang haid atau nifas.
- Orang yang sudah tua dan wanita yang sudah tua dan lemah.
- Wanita yang hamil atau menyusui.
7.1. Waktu berbuka
Berbuka puasa dilakukan pada waktu terbenam matahari dan telah lalu penjelasannya pada pembahasan waktu puasa.
7.2. Mempercepat Buka Puasa
Termasuk dalam sunnah puasa adalah mempercepat waktu berbuka dalam rangka mengikuti contoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya sebagaimana yang dikatakan oleh Amr bin Maimun al-Audy bahwa sahabat-sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang-orang yang paling cepat berbuka dan paling lambat sahurnya. (Diriwayatkan oleh Abdurrazaq dalam al-Musannaf no 7591 dengan sanad yang disahihkan Ibnu Hajar dalam Fath al-Bary 4/199)
Adapun manfaatnya adalah:
1. Mendapatkan kebaikan sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Sahl bin Saàd radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا يَزَالُ النَّاسَ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوْا الْفِطْرَ
“Manusia akan senantiasa dalam kebaikan selama mereka mempercepat buka puasanya.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)
2. Merupakan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
3. Dalam rangka menyelisihi ahli kitab sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَزَالُ الدَّيْنُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ الْفِطْرَ، لأَنَّ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى يُؤَخِّرُوْنَهُ
“Agama ini akan senantiasa menang selama manusia (kaum muslimin) mempercepat buka puasanya karena orang-orang Yahudi dan Kristen (Nashrani) mengakhirkannya.” (Riwayat Abu Dawud dan Ibnu Hibban dengan sanad hasan)
Buka puasa dilakukan sebelum sholat maghrib karena itu merupakan akhlak para nabi. Sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memotivasi kita untuk berbuka dengan kurma dan kalau tidak ada kurma, maka memakai air. Ini merupakan kesempurnaan kasih sayang dan perhatian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap umatnya.
8. Adab Orang yang Berpuasa
Disunnahkan bagi orang yang berpuasa untuk beradab dengan adab-adab yang syar’i, di antaranya:
- Memperlambat sahur.
- Mempercepat berbuka puasa.
- Berdoa ketika berpuasa dan ketika berbuka.
- Menahan diri dari perkara-perkara yang merusak puasa.
- Bersiwak.
- Berderma dan tadarus Al-Qur’an.
- Bersungguh-sungguh dalam beribadah khususnya pada sepuluh hari terakhir.
Amalan Amalan yang keliru menyambut Bulan Ramadhan
Berikut adalah beberapa kesalahan yang dilakukan di bulan Ramadhan yang tersebar luas di tengah-tengah kaum muslimin.
1. Mengkhususkan Ziarah Kubur Menjelang Ramadhan
Tidaklah tepat keyakinan bahwa menjelang bulan Ramadhan adalah waktu utama untuk menziarahi kubur orang tua atau kerabat (yang dikenal dengan “nyadran”). Kita boleh setiap saat melakukan ziarah kubur agar hati kita semakin lembut karena mengingat kematian. Namun masalahnya adalah jika seseorang mengkhususkan ziarah kubur pada waktu tertentu dan meyakini bahwa menjelang Ramadhan adalah waktu utama untuk nyadran atau nyekar. Ini sungguh suatu kekeliruan karena tidak ada dasar dari ajaran Islam yang menuntunkan hal ini.
2. Padusan, Mandi Besar, atau Keramasan Menyambut Ramadhan
Tidaklah tepat amalan sebagian orang yang menyambut bulan Ramadhan dengan mandi besar atau keramasan terlebih dahulu. Amalan seperti ini juga tidak ada tuntunannya sama sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lebih parahnya lagi mandi semacam ini (yang dikenal dengan “padusan”) ada juga yang melakukannya campur baur laki-laki dan perempuan dalam satu tempat pemandian. Ini sungguh merupakan kesalahan yang besar karena tidak mengindahkan aturan Islam. Bagaimana mungkin Ramadhan disambut dengan perbuatan yang bisa mendatangkan murka Allah?!
3. Menetapkan Awal Ramadhan dengan Hisab
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ ، لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسِبُ ,الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا
“Sesungguhnya kami adalah umat yang buta huruf. Kami tidak memakai kitabah (tulis-menulis) dan tidak pula memakai hisab (dalam penetapan bulan). Bulan itu seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 29) dan seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 30).” (HR. Bukhari dan Muslim)Ibnu Bazizah mengatakan,”Madzhab ini (yang menetapkan awal ramadhan dengan hisab) adalah madzhab bathil dan syari’at ini telah melarang mendalami ilmu nujum (hisab) karena ilmu ini hanya sekedar perkiraan (dzon) dan bukanlah ilmu yang pasti (qoth’i) atau persangkaan kuat. Maka seandainya suatu perkara (misalnya penentuan awal ramadhan, pen) hanya dikaitkan dengan ilmu hisab ini maka agama ini akan menjadi sempit karena tidak ada yang menguasai ilmu hisab ini kecuali sedikit sekali.” (Fathul Baari, 6/156)
4. Mendahului Ramadhan dengan Berpuasa Satu atau Dua Hari Sebelumnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدٌ الشَّهْرَ بِيَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ أَحَدٌ كَانَ يَصُومُ صِيَامًا قَبْلَهُ فَلْيَصُمْهُ
“Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa satu atau dua hari sebelumnya, kecuali bagi seseorang yang terbiasa mengerjakan puasa pada hari tersebut maka puasalah.” (HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih wa Dho’if Sunan Nasa’i)Pada hari tersebut juga dilarang untuk berpuasa karena hari tersebut adalah hari yang meragukan. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَامَ الْيَوْمَ الَّذِي يُشَكُّ فِيهِ فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Barangsiapa berpuasa pada hari yang diragukan maka dia telah mendurhakai Abul Qasim (yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen).” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dho’if Sunan Tirmidzi)5. Melafazhkan Niat “Nawaitu Shouma Ghodin…”
Sebenarnya tidak ada tuntunan sama sekali untuk melafazhkan niat semacam ini karena tidak adanya dasar dari perintah atau perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula dari para sahabat. Letak niat sebenarnya adalah dalam hati dan bukan di lisan. An Nawawi rahimahullah –ulama besar dalam Madzhab Syafi’i- mengatakan,
لَا يَصِحُّ الصَّوْمَ إِلَّا بِالنِّيَّةِ وَمَحَلُّهَا القَلْبُ وَلَا يُشْتَرَطُ النُّطْقُ بِلاَ خِلَافٍ
“Tidaklah sah puasa seseorang kecuali dengan niat. Letak niat adalah dalam hati, tidak disyaratkan untuk diucapkan dan pendapat ini tidak terdapat perselisihan di antara para ulama.” (Rowdhotuth Tholibin, I/268, Mawqi’ul Waroq-Maktabah Syamilah)6. Membangunkan “Sahur … Sahur”
Sebenarnya Islam sudah memiliki tatacara sendiri untuk menunjukkan waktu bolehnya makan dan minum yaitu dengan adzan pertama sebelum adzan shubuh. Sedangkan adzan kedua ketika adzan shubuh adalah untuk menunjukkan diharamkannya makan dan minum. Inilah cara untuk memberitahu kaum muslimin bahwa masih diperbolehkan makan dan minum dan memberitahukan berakhirnya waktu sahur. Sehingga tidak tepat jika membangunkan kaum muslimin dengan meneriakkan “sahur … sahur ….” baik melalui speaker atau pun datang ke rumah-rumah seperti mengetuk pintu. Cara membangunkan seperti ini sungguh tidak ada tuntunannya sama sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tidak pernah dilakukan oleh generasi terbaik dari ummat ini. Jadi, hendaklah yang dilakukan adalah melaksanakan dua kali adzan. Adzan pertama untuk menunjukkan masih dibolehkannya makan dan minum. Adzan kedua untuk menunjukkan diharamkannya makan dan minum. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu memiliki nasehat yang indah, “Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen), janganlah membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian.” (Lihat pembahasan at Tashiir di Al Bida’ Al Hawliyah, hal. 334-336)
7. Pensyariatan Waktu Imsak (Berhenti makan 10 atau 15 menit sebelum waktu shubuh)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُوا وَاشْرَبُوا وَلاَ يَهِيدَنَّكُمُ السَّاطِعُ الْمُصْعِدُ فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَعْتَرِضَ لَكُمُ الأَحْمَرُ
“Makan dan minumlah. Janganlah kalian menjadi takut oleh pancaran sinar (putih) yang menjulang. Makan dan minumlah sehingga tampak bagi kalian warna merah yang melintang.” (HR. Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Khuzaimah. Dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abu Daud, Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini hasan shahih). Maka hadits ini menjadi dalil bahwa waktu imsak (menahan diri dari makan dan minum) adalah sejak terbit fajar shodiq –yaitu ketika adzan shubuh dikumandangkan- dan bukanlah 10 menit sebelum adzan shubuh. Inilah yang sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya.Dalam hadits Anas dari Zaid bin Tsabit bahwasanya beliau pernah makan sahur bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri untuk menunaikan shalat. Kemudian Anas berkata, “Berapa lama jarak antara adzan Shubuh dan sahur kalian?” Kemudian Zaid berkata, “Sekitar 50 ayat.” (HR. Bukhari dan Muslim). Lihatlah berapa lama jarak antara sahur dan adzan? Apakah satu jam?! Jawabnya: Tidak terlalu lama, bahkan sangat dekat dengan waktu adzan shubuh yaitu sekitar membaca 50 ayat Al Qur’an (sekitar 10 atau 15 menit)
8. Do’a Ketika Berbuka “Allahumma Laka Shumtu wa Bika Aamantu…”
Ada beberapa riwayat yang membicarakan do’a ketika berbuka semacam ini. Di antaranya adalah dalam Sunan Abu Daud no. 2357, Ibnus Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no. 481 dan no. 482. Namun hadits-hadits yang membicarakan amalan ini adalah hadits-hadits yang lemah. Di antara hadits tersebut ada yang mursal yang dinilai lemah oleh para ulama pakar hadits. Juga ada perowi yang meriwayatkan hadits tersebut yang dinilai lemah dan pendusta (Lihat Dho’if Abu Daud no. 2011 dan catatan kaki Al Adzkar yang ditakhrij oleh ‘Ishomuddin Ash Shobaabtiy).
Adapun do’a yang dianjurkan ketika berbuka adalah,
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
“Dzahabazh zhoma-u wabtallatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah (artinya: Rasa haus telah hilang dan urat-urat telah basah, dan pahala telah ditetapkan insya Allah)” (HR. Abu Daud. Dikatakan hasan oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud)9. Dzikir Jama’ah Dengan Dikomandoi dalam Shalat Tarawih dan Shalat Lima Waktu
Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah tatkala menjelaskan mengenai dzikir setelah shalat, “Tidak diperbolehkan para jama’ah membaca dizkir secara berjama’ah. Akan tetapi yang tepat adalah setiap orang membaca dzikir sendiri-sendiri tanpa dikomandai oleh yang lain. Karena dzikir secara berjama’ah (bersama-sama) adalah sesuatu yang tidak ada tuntunannya dalam syari’at Islam yang suci ini.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 11/189)
10. “Ash Sholaatul Jaami’ah…” untuk Menyeru Jama’ah dalam Shalat Tarawih
Ulama-ulama Hambali berpendapat bahwa tidak ada ucapan untuk memanggil jama’ah dengan ucapan “Ash Sholaatul Jaami’ah…” Menurut mereka, ini termasuk perkara yang diada-adakan (baca: bid’ah). (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9634, Asy Syamilah)
11. Bubar Terlebih Dahulu Sebelum Imam Selesai Shalat Malam
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةً
“Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi. Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 447 mengatakan bahwa hadits ini shahih). Jika imam melaksanakan shalat tarawih ditambah shalat witir, makmum pun seharusnya ikut menyelesaikan bersama imam. Itulah yang lebih tepat.12. Perayaan Nuzulul Qur’an
Perayaan Nuzulul Qur’an sama sekali tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga tidak pernah dicontohkan oleh para sahabat. Para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengatakan,
لَوْ كَانَ خَيرْاً لَسَبَقُوْنَا إِلَيْهِ
“Seandainya amalan tersebut baik, tentu mereka (para sahabat) sudah mendahului kita untuk melakukannya.” Inilah perkataan para ulama pada setiap amalan atau perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat. Mereka menggolongkan perbuatan semacam ini sebagai bid’ah. Karena para sahabat tidaklah melihat suatu kebaikan kecuali mereka akan segera melakukannya. (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, pada tafsir surat Al Ahqof ayat 11)13. Membayar Zakat Fithri dengan Uang
Syaikh Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz mengatakan, “Seandainya mata uang dianggap sah dalam membayar zakat fithri, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskan hal ini. Alasannya, karena tidak boleh bagi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan penjelasan padahal sedang dibutuhkan. Seandainya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membayar zakat fithri dengan uang, tentu para sahabat –radhiyallahu ‘anhum- akan menukil berita tersebut. Kami juga tidak mengetahui ada seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membayar zakat fithri dengan uang. Padahal para sahabat adalah manusia yang paling mengetahui sunnah (ajaran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang yang paling bersemangat dalam menjalankan sunnahnya. Seandainya ada di antara mereka yang membayar zakat fithri dengan uang, tentu hal ini akan dinukil sebagaimana perkataan dan perbuatan mereka yang berkaitan dengan syari’at lainnya dinukil (sampai pada kita).” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 14/208-211)
14. Tidak Mau Mengembalikan Keputusan Penetapan Hari Raya kepada Pemerintah
Al Lajnah Ad Da’imah, komisi Fatwa di Saudi Arabia mengatakan, “Jika di negeri tersebut terjadi perselisihan pendapat (tentang penetapan 1 Syawal), maka hendaklah dikembalikan pada keputusan penguasa muslim di negeri tersebut. Jika penguasa tersebut memilih suatu pendapat, hilanglah perselisihan yang ada dan setiap muslim di negeri tersebut wajib mengikuti pendapatnya.” (Fatawa no. 388)
Demikian beberapa kesalahan atau kekeliruan di bulan Ramadhan yang mesti kita tinggalkan dan mesti kita menasehati saudara kita yang lain untuk meninggalkannya. Tentu saja nasehat ini dengan lemah lembut dan penuh hikmah.
Semoga Allah memberi kita petunjuk, ketakwaan, sifat ‘afaf (menjauhkan diri dari hal yang tidak diperbolehkan) dan memberikan kita kecukupan. Semoga Allah memperbaiki keadaan setiap orang yang membaca risalah ini.
Wa shallallahu wa salaamu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin.
Sumber:
- Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. www.muslim.or.id, judul artikel Serba-Serbi Ramadhan: Amalan – Amalan yang Berhubungan Dengan Puasa (4)
- Muhammad Abduh Tuasikal, Lc. www.muslim.or.id, judul artikel 14 Amalan yang Keliru di Bulan Ramadhan
0 comments:
Post a Comment