Tidak terasa, waktu begitu cepat berlalu, dan bulan
Ramadhan yang penuh dengan keberkahan dan keutamaan berlalu sudah.
Semoga kita tidak termasuk orang-orang yang celaka karena tidak
mendapatkan pengampunan dari Allah Ta’ala selama bulan Ramadhan, sebagaimana yang tersebut dalam doa yang diucapkan oleh malaikat Jibril ‘alaihissalam dan diamini oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam: “Celakalah
seorang hamba yang mendapati bulan Ramadhan kemudian Ramadhan berlalu
dalam keadaan dosa-dosanya belum diampuni (oleh Allah Ta’ala )”1.
Salah seorang ulama salaf berkata: “Barangsiapa yang
tidak diampuni dosa-dosanya di bulan Ramadhan maka tidak akan diampuni
dosa-dosanya di bulan-bulan lainnya”2.
Oleh karena itu, mohonlah dengan sungguh-sungguh kepada Allah Ta’ala agar
Dia menerima amal kebaikan kita di bulan yang penuh berkah ini dan
mengabulkan segala doa dan permohonan ampun kita kepada-Nya, sebagaimana
sebelum datangnya bulan Ramadhan kita berdoa kepada-Nya agar Allah Ta’ala mempertemukan
kita dengan bulan Ramadhan dalam keadaan hati kita kita dipenuhi dengan
keimanan dan pengharapan akan ridha-Nya. Imam Mu’alla bin al-Fadhl
berkata: “Dulunya (para salaf) berdoa kepada Allah Ta’ala (selama)
enam bulan agar Allah mempertemukan mereka dengan bulan Ramadhan,
kemudian mereka berdoa kepada-Nya (selama) enam bulan (berikutnya) agar
Dia menerima (amal-amal shalih) yang mereka (kerjakan)”3.
Lalu muncul satu pertanyaan besar dengan sendirinya: Apa
yang tertinggal dalam diri kita setelah Ramadhan berlalu? Bekas-bekas
kebaikan apa yang terlihat pada diri kita setelah keluar dari madrasah
bulan puasa?
Apakah bekas-bekas itu hilang seiring dengan berlalunya
bulan itu? Apakah amal-amal kebaikan yang terbiasa kita kerjakan di
bulan itu pudar setelah puasa berakhir?
Jawabannya ada pada kisah berikut ini:
Imam Bisyr bin al-Harits al-Hafi pernah ditanya tentang
orang-orang yang (hanya) rajin dan sungguh-sungguh beribadah di bulan
Ramadhan, maka beliau menjawab: “Mereka adalah orang-orang yang sangat
buruk, (karena) mereka tidak mengenal hak Allah kecuali hanya di bulan
Ramadhan, (hamba Allah) yang shaleh adalah orang yang rajin dan
sungguh-sungguh beribadah dalam setahun penuh”4.
Demi Allah, inilah hamba Allah Ta’ala yang sejati, yang selalu menjadi hamba-Nya di setiap tempat dan waktu, bukan hanya di waktu dan tempat tertentu.
Imam Asy-Syibli pernah ditanya: Mana yang lebih utama,
bulan Rajab atau bulan Sya’ban? Maka beliau menjawab: “Jadilah kamu
seorang Rabbani (hamba Allah Ta’ala yang selalu beribadah kepada-Nya di setiap waktu dan tempat), dan janganlah kamu menjadi seorang Sya’bani (orang yang hanya beribadah kepada-Nya di bulan Sya’ban atau bulan tertentu lainnya)”5.
Maka sebagaimana kita membutuhkan dan mengharapkan rahmat Allah Ta’ala di
bulan Ramadhan, bukankah kita juga tetap membutuhkan dan mengharapkan
rahmat-Nya di bulan-bulan lainnya? Bukankah kita semua termasuk dalam
firman-Nya:
{يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيد}
“Hai manusia, kalian semua butuh kepada (rahmat) Allah; dan Allah Dia-lah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji” (QS Faathir: 15).
Inilah makna istiqamah yang sesungguhnya dan
inilah pertanda diterimanya amal shaleh seorang hamba. Imam Ibnu Rajab
berkata: “Sesungguhnya Allah jika Dia menerima amal (kebaikan) seorang
hamba maka Dia akan memberi taufik kepada hamba-Nya tersebut untuk
beramal shaleh setelahnya, sebagaimana ucapan salah seorang dari mereka
(ulama salaf): Ganjaran perbuatan baik adalah (taufik dari Allah Ta’ala untuk
melakukan) perbuatan baik setelahnya. Maka barangsiapa yang mengerjakan
amal kebaikan, lalu dia mengerjakan amal kebaikan lagi setelahnya, maka
itu merupakan pertanda diterimanya amal kebaikannya yang pertama (oleh
Allah Ta’ala), sebagaimana barangsiapa yang mengerjakan amal
kebakan, lalu dia dia mengerjakan perbuatan buruk (setelahnya), maka itu
merupakan pertanda tertolak dan tidak diterimanya amal kebaikan
tersebut”6.
Oleh karena itulah, Allah Ta’ala mensyariatkan
puasa enam hari di bulan Syawwal, yangkeutamannya sangat besar yaitu
menjadikan puasa Ramadhan dan puasa enam hari di bulan Syawwal pahalanya
seperti puasa setahun penuh, sebagaimana sabda Rasululah Shallallahu’alaihi Wasallam: “Barangsiapa yang berpuasa (di bulan) Ramadhan, kemudian dia mengikutkannya dengan (puasa sunnah) enam hari di bulan Syawwal, maka (dia akan mendapatkan pahala) seperti puasa setahun penuh”7.
Di samping itu juga untuk tujuan memenuhi keinginan
hamba-hamba-Nya yang shaleh dan selalu rindu untuk mendekatkan diri
kepada Allah Ta’ala dengan puasa dan ibadah-ibadah lainnya,
karena mereka adalah orang-orang yang merasa gembira dengan mengerjakan
ibadah puasa. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Orang yang berpuasa akan merasakan dua kegembiraan (besar): kegembiraan ketika berbuka puasa dan kegembiraan ketika dia bertemu Allah”8.
Inilah bentuk amal kebaikan yang paling dicintai oleh AllahTa’ala dan Rasul-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Amal (ibadah) yang paling dicintai Allah Ta’ala adalah amal yang paling terus-menerus dikerjakan meskipun sedikit”9.
Ummul mu’minin ‘Aisyah Radhiallahu’anha berkata: “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam jika mengerjakan suatu amal (kebaikan) maka beliau Shallallahu’alaihi Wasallam akan menetapinya”10.
Inilah makna istiqamah setelah bulan Ramadhan,
inilah tanda diterimanya amal-amal kebaikan kita di bulan yang berkah
itu, maka silahkan menilai diri kita sendiri, apakah kita termasuk
orang-orang yang beruntung dan diterima amal kebaikannya atau malah
sebaliknya.
{فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الأبْصَارِ}
“Maka ambillah pelajaran (dari semua ini), wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat” (QS al-Hasyr: 2).
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 6 Ramadhan 1433 H
—
1 HR Ahmad (2/254), al-Bukhari dalam “al-Adabul mufrad”
(no. 644), Ibnu Hibban (no. 907) dan al-Hakim (4/170), dinyatakan
shahih oleh Ibnu Hibban, al-Hakim, adz-Dzahabi dan al-Albani.
2 Dinukil oleh imam Ibnu Rajab dalam kitab “Latha-iful ma’aarif” (hal. 297).
3 Dinukil oleh imam Ibnu Rajab al-Hambali dalam kitab “Latha-iful ma’aarif” (hal. 174).
4 Dinukil oleh imam Ibnu Rajab al-Hambali dalam kitab “Latha-iful ma’aarif” (hal. 313).
5 Ibid.
6 Kitab “Latha-iful ma’aarif” (hal. 311).
7 HSR Muslim (no. 1164).
8 HSR al-Bukhari (no. 7054) dan Muslim (no. 1151).
9 HSR al-Bukhari (no. 6099) dan Muslim (no. 783).
Tidak terasa, waktu begitu cepat berlalu, dan bulan
Ramadhan yang penuh dengan keberkahan dan keutamaan berlalu sudah.
Semoga kita tidak termasuk orang-orang yang celaka karena tidak
mendapatkan pengampunan dari Allah Ta’ala selama bulan Ramadhan, sebagaimana yang tersebut dalam doa yang diucapkan oleh malaikat Jibril ‘alaihissalam dan diamini oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam: “Celakalah
seorang hamba yang mendapati bulan Ramadhan kemudian Ramadhan berlalu
dalam keadaan dosa-dosanya belum diampuni (oleh Allah Ta’ala )”1.
Salah seorang ulama salaf berkata: “Barangsiapa yang
tidak diampuni dosa-dosanya di bulan Ramadhan maka tidak akan diampuni
dosa-dosanya di bulan-bulan lainnya”2.
Oleh karena itu, mohonlah dengan sungguh-sungguh kepada Allah Ta’ala agar
Dia menerima amal kebaikan kita di bulan yang penuh berkah ini dan
mengabulkan segala doa dan permohonan ampun kita kepada-Nya, sebagaimana
sebelum datangnya bulan Ramadhan kita berdoa kepada-Nya agar Allah Ta’ala mempertemukan
kita dengan bulan Ramadhan dalam keadaan hati kita kita dipenuhi dengan
keimanan dan pengharapan akan ridha-Nya. Imam Mu’alla bin al-Fadhl
berkata: “Dulunya (para salaf) berdoa kepada Allah Ta’ala (selama)
enam bulan agar Allah mempertemukan mereka dengan bulan Ramadhan,
kemudian mereka berdoa kepada-Nya (selama) enam bulan (berikutnya) agar
Dia menerima (amal-amal shalih) yang mereka (kerjakan)”3.
Lalu muncul satu pertanyaan besar dengan sendirinya: Apa
yang tertinggal dalam diri kita setelah Ramadhan berlalu? Bekas-bekas
kebaikan apa yang terlihat pada diri kita setelah keluar dari madrasah
bulan puasa?
Apakah bekas-bekas itu hilang seiring dengan berlalunya
bulan itu? Apakah amal-amal kebaikan yang terbiasa kita kerjakan di
bulan itu pudar setelah puasa berakhir?
Jawabannya ada pada kisah berikut ini:
Imam Bisyr bin al-Harits al-Hafi pernah ditanya tentang
orang-orang yang (hanya) rajin dan sungguh-sungguh beribadah di bulan
Ramadhan, maka beliau menjawab: “Mereka adalah orang-orang yang sangat
buruk, (karena) mereka tidak mengenal hak Allah kecuali hanya di bulan
Ramadhan, (hamba Allah) yang shaleh adalah orang yang rajin dan
sungguh-sungguh beribadah dalam setahun penuh”4.
Demi Allah, inilah hamba Allah Ta’ala yang sejati, yang selalu menjadi hamba-Nya di setiap tempat dan waktu, bukan hanya di waktu dan tempat tertentu.
Imam Asy-Syibli pernah ditanya: Mana yang lebih utama,
bulan Rajab atau bulan Sya’ban? Maka beliau menjawab: “Jadilah kamu
seorang Rabbani (hamba Allah Ta’ala yang selalu beribadah kepada-Nya di setiap waktu dan tempat), dan janganlah kamu menjadi seorang Sya’bani (orang yang hanya beribadah kepada-Nya di bulan Sya’ban atau bulan tertentu lainnya)”5.
Maka sebagaimana kita membutuhkan dan mengharapkan rahmat Allah Ta’ala di
bulan Ramadhan, bukankah kita juga tetap membutuhkan dan mengharapkan
rahmat-Nya di bulan-bulan lainnya? Bukankah kita semua termasuk dalam
firman-Nya:
{يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيد}
“Hai manusia, kalian semua butuh kepada (rahmat) Allah; dan Allah Dia-lah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji” (QS Faathir: 15).
Inilah makna istiqamah yang sesungguhnya dan
inilah pertanda diterimanya amal shaleh seorang hamba. Imam Ibnu Rajab
berkata: “Sesungguhnya Allah jika Dia menerima amal (kebaikan) seorang
hamba maka Dia akan memberi taufik kepada hamba-Nya tersebut untuk
beramal shaleh setelahnya, sebagaimana ucapan salah seorang dari mereka
(ulama salaf): Ganjaran perbuatan baik adalah (taufik dari Allah Ta’ala untuk
melakukan) perbuatan baik setelahnya. Maka barangsiapa yang mengerjakan
amal kebaikan, lalu dia mengerjakan amal kebaikan lagi setelahnya, maka
itu merupakan pertanda diterimanya amal kebaikannya yang pertama (oleh
Allah Ta’ala), sebagaimana barangsiapa yang mengerjakan amal
kebakan, lalu dia dia mengerjakan perbuatan buruk (setelahnya), maka itu
merupakan pertanda tertolak dan tidak diterimanya amal kebaikan
tersebut”6.
Oleh karena itulah, Allah Ta’ala mensyariatkan
puasa enam hari di bulan Syawwal, yangkeutamannya sangat besar yaitu
menjadikan puasa Ramadhan dan puasa enam hari di bulan Syawwal pahalanya
seperti puasa setahun penuh, sebagaimana sabda Rasululah Shallallahu’alaihi Wasallam: “Barangsiapa yang berpuasa (di bulan) Ramadhan, kemudian dia mengikutkannya dengan (puasa sunnah) enam hari di bulan Syawwal, maka (dia akan mendapatkan pahala) seperti puasa setahun penuh”7.
Di samping itu juga untuk tujuan memenuhi keinginan
hamba-hamba-Nya yang shaleh dan selalu rindu untuk mendekatkan diri
kepada Allah Ta’ala dengan puasa dan ibadah-ibadah lainnya,
karena mereka adalah orang-orang yang merasa gembira dengan mengerjakan
ibadah puasa. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Orang yang berpuasa akan merasakan dua kegembiraan (besar): kegembiraan ketika berbuka puasa dan kegembiraan ketika dia bertemu Allah”8.
Inilah bentuk amal kebaikan yang paling dicintai oleh AllahTa’ala dan Rasul-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Amal (ibadah) yang paling dicintai Allah Ta’ala adalah amal yang paling terus-menerus dikerjakan meskipun sedikit”9.
Ummul mu’minin ‘Aisyah Radhiallahu’anha berkata: “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam jika mengerjakan suatu amal (kebaikan) maka beliau Shallallahu’alaihi Wasallam akan menetapinya”10.
Inilah makna istiqamah setelah bulan Ramadhan,
inilah tanda diterimanya amal-amal kebaikan kita di bulan yang berkah
itu, maka silahkan menilai diri kita sendiri, apakah kita termasuk
orang-orang yang beruntung dan diterima amal kebaikannya atau malah
sebaliknya.
{فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الأبْصَارِ}
“Maka ambillah pelajaran (dari semua ini), wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat” (QS al-Hasyr: 2).
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
—
1 HR Ahmad (2/254), al-Bukhari dalam “al-Adabul mufrad”
(no. 644), Ibnu Hibban (no. 907) dan al-Hakim (4/170), dinyatakan
shahih oleh Ibnu Hibban, al-Hakim, adz-Dzahabi dan al-Albani.
2 Dinukil oleh imam Ibnu Rajab dalam kitab “Latha-iful ma’aarif” (hal. 297).
3 Dinukil oleh imam Ibnu Rajab al-Hambali dalam kitab “Latha-iful ma’aarif” (hal. 174).
4 Dinukil oleh imam Ibnu Rajab al-Hambali dalam kitab “Latha-iful ma’aarif” (hal. 313).
5 Ibid.
6 Kitab “Latha-iful ma’aarif” (hal. 311).
7 HSR Muslim (no. 1164).
8 HSR al-Bukhari (no. 7054) dan Muslim (no. 1151).
9 HSR al-Bukhari (no. 6099) dan Muslim (no. 783).
Tidak terasa, waktu begitu cepat berlalu, dan bulan
Ramadhan yang penuh dengan keberkahan dan keutamaan berlalu sudah.
Semoga kita tidak termasuk orang-orang yang celaka karena tidak
mendapatkan pengampunan dari Allah Ta’ala selama bulan Ramadhan, sebagaimana yang tersebut dalam doa yang diucapkan oleh malaikat Jibril ‘alaihissalam dan diamini oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam: “Celakalah
seorang hamba yang mendapati bulan Ramadhan kemudian Ramadhan berlalu
dalam keadaan dosa-dosanya belum diampuni (oleh Allah Ta’ala )”1.
Salah seorang ulama salaf berkata: “Barangsiapa yang
tidak diampuni dosa-dosanya di bulan Ramadhan maka tidak akan diampuni
dosa-dosanya di bulan-bulan lainnya”2.
Oleh karena itu, mohonlah dengan sungguh-sungguh kepada Allah Ta’ala agar
Dia menerima amal kebaikan kita di bulan yang penuh berkah ini dan
mengabulkan segala doa dan permohonan ampun kita kepada-Nya, sebagaimana
sebelum datangnya bulan Ramadhan kita berdoa kepada-Nya agar Allah Ta’ala mempertemukan
kita dengan bulan Ramadhan dalam keadaan hati kita kita dipenuhi dengan
keimanan dan pengharapan akan ridha-Nya. Imam Mu’alla bin al-Fadhl
berkata: “Dulunya (para salaf) berdoa kepada Allah Ta’ala (selama)
enam bulan agar Allah mempertemukan mereka dengan bulan Ramadhan,
kemudian mereka berdoa kepada-Nya (selama) enam bulan (berikutnya) agar
Dia menerima (amal-amal shalih) yang mereka (kerjakan)”3.
Lalu muncul satu pertanyaan besar dengan sendirinya: Apa
yang tertinggal dalam diri kita setelah Ramadhan berlalu? Bekas-bekas
kebaikan apa yang terlihat pada diri kita setelah keluar dari madrasah
bulan puasa?
Apakah bekas-bekas itu hilang seiring dengan berlalunya
bulan itu? Apakah amal-amal kebaikan yang terbiasa kita kerjakan di
bulan itu pudar setelah puasa berakhir?
Jawabannya ada pada kisah berikut ini:
Imam Bisyr bin al-Harits al-Hafi pernah ditanya tentang
orang-orang yang (hanya) rajin dan sungguh-sungguh beribadah di bulan
Ramadhan, maka beliau menjawab: “Mereka adalah orang-orang yang sangat
buruk, (karena) mereka tidak mengenal hak Allah kecuali hanya di bulan
Ramadhan, (hamba Allah) yang shaleh adalah orang yang rajin dan
sungguh-sungguh beribadah dalam setahun penuh”4.
Demi Allah, inilah hamba Allah Ta’ala yang sejati, yang selalu menjadi hamba-Nya di setiap tempat dan waktu, bukan hanya di waktu dan tempat tertentu.
Imam Asy-Syibli pernah ditanya: Mana yang lebih utama,
bulan Rajab atau bulan Sya’ban? Maka beliau menjawab: “Jadilah kamu
seorang Rabbani (hamba Allah Ta’ala yang selalu beribadah kepada-Nya di setiap waktu dan tempat), dan janganlah kamu menjadi seorang Sya’bani (orang yang hanya beribadah kepada-Nya di bulan Sya’ban atau bulan tertentu lainnya)”5.
Maka sebagaimana kita membutuhkan dan mengharapkan rahmat Allah Ta’ala di
bulan Ramadhan, bukankah kita juga tetap membutuhkan dan mengharapkan
rahmat-Nya di bulan-bulan lainnya? Bukankah kita semua termasuk dalam
firman-Nya:
{يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيد}
“Hai manusia, kalian semua butuh kepada (rahmat) Allah; dan Allah Dia-lah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji” (QS Faathir: 15).
Inilah makna istiqamah yang sesungguhnya dan
inilah pertanda diterimanya amal shaleh seorang hamba. Imam Ibnu Rajab
berkata: “Sesungguhnya Allah jika Dia menerima amal (kebaikan) seorang
hamba maka Dia akan memberi taufik kepada hamba-Nya tersebut untuk
beramal shaleh setelahnya, sebagaimana ucapan salah seorang dari mereka
(ulama salaf): Ganjaran perbuatan baik adalah (taufik dari Allah Ta’ala untuk
melakukan) perbuatan baik setelahnya. Maka barangsiapa yang mengerjakan
amal kebaikan, lalu dia mengerjakan amal kebaikan lagi setelahnya, maka
itu merupakan pertanda diterimanya amal kebaikannya yang pertama (oleh
Allah Ta’ala), sebagaimana barangsiapa yang mengerjakan amal
kebakan, lalu dia dia mengerjakan perbuatan buruk (setelahnya), maka itu
merupakan pertanda tertolak dan tidak diterimanya amal kebaikan
tersebut”6.
Oleh karena itulah, Allah Ta’ala mensyariatkan
puasa enam hari di bulan Syawwal, yangkeutamannya sangat besar yaitu
menjadikan puasa Ramadhan dan puasa enam hari di bulan Syawwal pahalanya
seperti puasa setahun penuh, sebagaimana sabda Rasululah Shallallahu’alaihi Wasallam: “Barangsiapa yang berpuasa (di bulan) Ramadhan, kemudian dia mengikutkannya dengan (puasa sunnah) enam hari di bulan Syawwal, maka (dia akan mendapatkan pahala) seperti puasa setahun penuh”7.
Di samping itu juga untuk tujuan memenuhi keinginan
hamba-hamba-Nya yang shaleh dan selalu rindu untuk mendekatkan diri
kepada Allah Ta’ala dengan puasa dan ibadah-ibadah lainnya,
karena mereka adalah orang-orang yang merasa gembira dengan mengerjakan
ibadah puasa. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Orang yang berpuasa akan merasakan dua kegembiraan (besar): kegembiraan ketika berbuka puasa dan kegembiraan ketika dia bertemu Allah”8.
Inilah bentuk amal kebaikan yang paling dicintai oleh AllahTa’ala dan Rasul-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Amal (ibadah) yang paling dicintai Allah Ta’ala adalah amal yang paling terus-menerus dikerjakan meskipun sedikit”9.
Ummul mu’minin ‘Aisyah Radhiallahu’anha berkata: “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam jika mengerjakan suatu amal (kebaikan) maka beliau Shallallahu’alaihi Wasallam akan menetapinya”10.
Inilah makna istiqamah setelah bulan Ramadhan,
inilah tanda diterimanya amal-amal kebaikan kita di bulan yang berkah
itu, maka silahkan menilai diri kita sendiri, apakah kita termasuk
orang-orang yang beruntung dan diterima amal kebaikannya atau malah
sebaliknya.
{فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الأبْصَارِ}
“Maka ambillah pelajaran (dari semua ini), wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat” (QS al-Hasyr: 2).
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 6 Ramadhan 1433 H
—
1 HR Ahmad (2/254), al-Bukhari dalam “al-Adabul mufrad”
(no. 644), Ibnu Hibban (no. 907) dan al-Hakim (4/170), dinyatakan
shahih oleh Ibnu Hibban, al-Hakim, adz-Dzahabi dan al-Albani.
2 Dinukil oleh imam Ibnu Rajab dalam kitab “Latha-iful ma’aarif” (hal. 297).
3 Dinukil oleh imam Ibnu Rajab al-Hambali dalam kitab “Latha-iful ma’aarif” (hal. 174).
4 Dinukil oleh imam Ibnu Rajab al-Hambali dalam kitab “Latha-iful ma’aarif” (hal. 313).
5 Ibid.
6 Kitab “Latha-iful ma’aarif” (hal. 311).
7 HSR Muslim (no. 1164).
8 HSR al-Bukhari (no. 7054) dan Muslim (no. 1151).
9 HSR al-Bukhari (no. 6099) dan Muslim (no. 783).
0 comments:
Post a Comment