Secara bahasa, ikhlas bermakna bersih dari kotoran dan menjadikan sesuatu bersih tidak kotor. Maka orang yang ikhlas adalah orang yang menjadikan agamanya murni hanya untuk Allah saja dengan menyembah-Nya dan tidak menyekutukan dengan yang lain dan tidak riya dalam beramal.
Sedangkan secara istilah, ikhlas berarti niat mengharap ridha Allah saja dalam beramal tanpa menyekutukan-Nya dengan yang lain. Memurnikan niatnya dari kotoran yang merusak.
Seseorang yang ikhlas ibarat orang yang sedang membersihkan beras (nampi beras
) dari kerikil-kerikil dan batu-batu kecil di sekitar beras. Maka, beras yang dimasak menjadi nikmat dimakan. Tetapi jika beras itu masih kotor, ketika nasi dikunyah akan tergigit kerikil dan batu kecil. Demikianlah keikhlasan, menyebabkan beramal menjadi nikmat, tidak membuat lelah, dan segala pengorbanan tidak terasa berat. Sebaliknya, amal yang dilakukan dengan riya akan menyebabkan amal tidak nikmat. Pelakunya akan mudah menyerah dan selalu kecewa.
Niat
Fungsi niat dlm ibadah sangatlah penting. Karena itu tiap muslim harus senantiasa memperbaiki niatdlm ibadah yaitu ikhlas utk Allah semata.
Umar ibnul Khaththab radliallahuanhu berkata: Aku mendengar Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda :
“Amalan-amalan itu hanyalah tergantung dgn niat -nya. Dan tiap orang hanyalah mendapatkan sesuai dgn apa yg dia niat -kan. maka siapa yang amalan hijrah krn Allah dan Rasul-Nya maka hijrah itu karena Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yg hijrah karena dunia yang ingin ia peroleh atau karena wanita yang ingin ia nikahi maka hijrah itu kepada apa yang dia tujukan/niat -kan”.
Hadits yang agung di atas diriwayatkan oleh Imam Bukhari rahimahullah dalam beberapa tempat dari kitab shahih dan Imam Muslim rahimahullah dlm shahih .
Berkata Al Imam Ibnu Rajab Al Hambali tentang hadits ini : “Yahya bin Said Al Anshari bersendirian dalam meriwayatkan hadits ini dari Muhammad bin Ibrahim At Taimi dari `Alqamah bin Waqqash Al Laitsi dari Umar ibnul Khaththab radliallahuanhu. Dan tdk ada jalan lain yg shahih dari hadits ini kecuali jalan ini. Demikian yg dikatakan oleh Ali ibnul Madini dan selainnya”. Berkata Al Khaththabi : “Aku tdk mengetahui ada perselisihan di kalangan ahli hadits dlm hal ini sementara hadits ini juga diriwayatkan dari shahabat Abu Said Al Khudri dan selainnya”. Dan dikatakan: Hadits ini diriwayatkan dari jalan yang banyak akan tetapi tidak ada satupun yang shahih dari jalan-jalan tersebut di sisi para huffadz .
Kemudian setelah Yahya bin Said Al Anshari banyak sekali perawi yang meriwayatkan dari sampai dikatakan : Telah meriwayatkan dari Yahya Al Anshari lbh dari 200 perawi. Bahkan ada yang mengatakan jumlah mencapai 700 rawi yang terkenal dari mereka di antara Malik Ats Tsauri Al Auza`i Ibnul Mubarak Al Laits bin Sa`ad Hammad bin Zaid Syu`bah Ibnu `Uyainah dan selainnya. .
Ulama bersepakat menshahihkan hadits ini dan menerima dengan penerimaan yang baik dan mantap. Imam Bukhari membuka kitab Shahih dengan hadits ini dan menempatkan seperti khutbah/mukaddimah bagi kitab beliau sebagai isyarat bahwasa tiap amalan yang tidak ditujukan untuk mendapatkan wajah Allah maka amalan itu batil tidak akan diperoleh buah/hasil di dunia terlebih lagi di akhirat. Karena itulah berkata Abdurrahman bin Mahdi: “Seandai aku membuat bab-bab dalam sebuah kitab niscaya aku tempatkan pada tiap bab hadits Umar tentang amalan itu dengan niat -nya”. Beliau juga mengatakan: “Siapa yang ingin menulis sebuah kitab maka hendak ia memulai dengan hadits innamal a’malu binniyah.
Hadits ini selain diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim juga diriwayatkan oleh para imam yg lain. Dan komentar tentang hadits ini kami cukupkan dari menukil ucapan Ibnu Rajab Al Hambali di atas krn pada ada kifayah .
Penjelasan Hadits Tentang Niat
Dari hadits di atas kita pahami bahwasa tiap orang akan memperoleh balasan amalan yang dia lakukan sesuai dengan niat -nya. Dalam hal ini telah berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah: “Setiap amalan yang dilakukan seseorang apakah berupa kebaikan ataupun kejelekan tergantung dengan niat -nya. Apabila ia tujukan dengan perbuatan tersebut niatan/maksud yang baik maka ia mendapatkan kebaikan sebaliknya bila maksud jelek maka ia mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niat -kan”. Beliau juga mengatakan: “Hadits ini mencakup di dalam seluruh amalan yakni tiap amalan harus disertai niat. Dan niat ini yg membedakan antara orang yg beramal karena ingin mendapatkan ridla Allah dan pahala di negeri akhirat dgn orang yg beramal karena ingin dunia apakah berupa harta kemuliaan pujian sanjungan pengagungan dan selainnya”.
Di sini kita bisa melihat arti penting niat sebagai ruh amal inti dan sendinya. Amal menjadi benar karena niat yg benar dan sebalik amal jadi rusak karena niat yg rusak.
Dinukilkan dari sebagian salaf ucapan mereka yang bermakna: “Siapa yang senang untuk disempurnakan amalan yang dilakukan maka hendaklah ia membaikkan niatnya. Karena Allah ta`ala memberi pahala bagi seorang hamba apabila baik niatnya hinga satu suapan yg dia berikan “.
Berkata Ibnul Mubarak rahimahullah: “Berapa banyak amalan yang sedikit bisa menjadi besar karena niat dan berapa banyak amalan yg besar bisa bernilai kecil karena niatnya”.
Perlu diketahui bahwasa suatu perkara yang sifatnya mubah bisa diberi pahala bagi pelaku karena niat yg baik. Seperti orang yg makan dan minum dan ia niatkan perbuatan tersebut dalam rangka membantu untuk taat kepada Allah dan bisa menegakkan ibadah kepada-Nya, maka dia akan diberi pahala karena niat yg baik tersebut. Ibnul Qayyim Al Jauziyah rahimahullah mengatakan : “Perkara mubah pada diri orang-orang yg khusus dari kalangan muqarrabin bisa berubah menjadi ketaatan dan qurubat (pendekatan kepada Allah) karena niat”.
Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarah Muslim ketika menjelaskan hadits:
“Dan pada kemaluan salah seorang dari kalian ada sedekah”.
Beliau menyatakan: “Dalam hadits ini ada dalil yang menunjukkan bahwa perkara-perkara mubah bisa menjadi amalan ketaatan sebab niat yg baik. Jima’ bisa bernilai ibadah apabila seseorang meniatkan untuk menunaikan hak istri dan bergaul dengan cara yang baik sesuai dengan apa yang Allah perintahkan atau ia bertujuan untuk mendapatkan anak yg shalih atau untuk menjaga kehormatan diri atau kehormatan istri dan untuk mencegah kedua dari melihat perkara yang haram atau berfikir kepada perkara haram atau berkeinginan melakukan dan selain dari tujuan-tujuan yg tidak baik”.
Meluruskan Niat
Seorang hamba harus terus berupaya memperbaiki niat dan meluruskan agar apa yg dia lakukan dapat berbuah kebaikan. Dan perbaikan niat ini perlu mujahadah . Karena sulit meluruskan niat ini sampai-sampai Sufyan Ats Tsauri rahimahullah berkata : “Tidak ada suatu perkara yang paling berat bagiku untuk aku obati daripada meluruskan niatku karena niat itu bisa berubah-ubah terhadapku”.
Dan niat itu harus ditujukan semata untuk Allah ikhlas karena mengharapkan wajah-Nya yg Mulia. Ibadah tanpa keikhlasan niat maka tertolak sebagaimana bila ibadah itu tidak mencocoki tuntunan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Allah ta`ala berfirman tentang ikhlas dlm ibadah ini :
Dan tidaklah mereka diperintah kecuali untuk beribadah kepada Allah dalam keadaan mengikhlaskan agama bagi-Nya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam Majmu` Fatawa : “Mengikhlaskan agama untuk Allah adalah pokok ajaran agama ini yang Allah tidak menerima selainnya. Dengan ajaran agama inilah Allah mengutus rasul yang pertama sampai akhir dan Allah menurunkan seluruh kitab. Ikhlas dalam agama merupakan perkara yang disepakati oleh para imam ahlul iman. Dan ia merupakan inti dari dakwah para nabi dan poros Al Qur’an”.
Pelajaran Tentang Niat Yang Dipetik dari Hadits Ini
1. Niat itu termasuk bagian dari iman dan niat termasuk amalan hati.
2. Wajib bagi seorang muslim mengetahui hukum suatu amalan sebelum ia melakukan amalan tersebut apakah amalan itu disyariatkan atau tidak apakah hukum wajib atau sunnah. Karena didalam hadits ditunjukkan bahwasa amalan itu bisa tertolak apabila luput dari niatan yang disyariatkan.
3. Disyaratkan niat dalam amalan-amalan ketaatan dan harus dita`yin yakni bila seseorang ingin shalat maka ia harus menentukan dalam niat shalat apa yg akan ia kerjakan apakah shalat sunnah atau shalat wajib dhuhur atau ashar dst. Bila ingin puasa maka ia harus menentukan apakah puasa itu puasa sunnah puasa qadha atau yg lainnya.
4. Amal tergantung dari niat tentang sah, tidak sempurna atau kurang, taat atau maksiat.
5. Seseorang mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan namun perlu diingat niat yang baik tidaklah merubah perkara mungkar itu menjadi ma’ruf dan tidak menjadikan yang bid`ah menjadi sunnah.
6. Wajib berhati-hati dari riya, sum`ah dan tujuan dunia yang lain karena perkara tersebut merusak ibadah kepada Allah ta`ala.
7. Hijrah dari negeri kafir ke negeri Islam memiliki keutamaan yang besar dan merupakan ibadah bila di niat kan krn Allah dan Rasul-Nya.
Wallahu ta`ala a`lam bishawwab
Karena itu, bagi seorang dai makna ikhlas adalah ketika ia mengarahkan seluruh perkataan, perbuatan, dan jihadnya hanya untuk Allah, mengharap ridha-Nya, dan kebaikan pahala-Nya tanpa melihat pada kekayaan dunia, tampilan, kedudukan, sebutan, kemajuan atau kemunduran. Dengan demikian si dai menjadi tentara fikrah dan akidah, bukan tentara dunia dan kepentingan. Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku.” Dai yang berkarakter seperti itulah yang punya semboyan ‘Allahu Ghayaatunaa‘, Allah tujuan kami, dalam segala aktivitas mengisi hidupnya.
Ciri Orang Yang Ikhlas
Orang-orang yang ikhlas memiliki ciri yang bisa dilihat, diantaranya:
1. Senantiasa beramal dan bersungguh-sungguh dalam beramal, baik dalam keadaan sendiri atau bersama orang banyak, baik ada pujian ataupun celaan. Ali bin Abi Thalib r.a. berkata, “Orang yang riya memiliki beberapa ciri; malas jika sendirian dan rajin jika di hadapan banyak orang. Semakin bergairah dalam beramal jika dipuji dan semakin berkurang jika dicela.”
Perjalanan waktulah yang akan menentukan seorang itu ikhlas atau tidak dalam beramal. Dengan melalui berbagai macam ujian dan cobaan, baik yang suka maupun duka, seorang akan terlihat kualitas keikhlasannya dalam beribadah, berdakwah, dan berjihad.
Al-Qur’an telah menjelaskan sifat orang-orang beriman yang ikhlas dan sifat orang-orang munafik, membuka kedok dan kebusukan orang-orang munafik dengan berbagai macam cirinya. Di antaranya disebutkan dalam surat At-Taubah ayat 44-45, “Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, tidak akan meminta izin kepadamu untuk (tidak ikut) berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang bertakwa. Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keragu-raguannya.”
2. Terjaga dari segala yang diharamkan Allah, baik dalam keadaan bersama manusia atau jauh dari mereka. Disebutkan dalam hadits, “Aku beritahukan bahwa ada suatu kaum dari umatku datang di hari kiamat dengan kebaikan seperti Gunung Tihamah yang putih, tetapi Allah menjadikannya seperti debu-debu yang beterbangan. Mereka adalah saudara-saudara kamu, dan kulitnya sama dengan kamu, melakukan ibadah malam seperti kamu. Tetapi mereka adalah kaum yang jika sendiri melanggar yang diharamkan Allah.” (HR Ibnu Majah)
Tujuan yang hendak dicapai orang yang ikhlas adalah ridha Allah, bukan ridha manusia. Sehingga, mereka senantiasa memperbaiki diri dan terus beramal, baik dalam kondisi sendiri atau ramai, dilihat orang atau tidak, mendapat pujian atau celaan. Karena mereka yakin Allah Maha melihat setiap amal baik dan buruk sekecil apapun.
3. Dalam dakwah, akan terlihat bahwa seorang dai yang ikhlas akan merasa senang jika kebaikan terealisasi di tangan saudaranya sesama dai, sebagaimana dia juga merasa senang jika terlaksana oleh tangannya.
Para dai yang ikhlas akan menyadari kelemahan dan kekurangannya. Oleh karena itu mereka senantiasa membangun amal jama’i dalam dakwahnya. Senantiasa menghidupkan syuro dan mengokohkan perangkat dan sistem dakwah. Berdakwah untuk kemuliaan Islam dan umat Islam, bukan untuk meraih popularitas dan membesarkan diri atau lembaganya semata.
Kedudukan Ikhlas
Ikhlas adalah buah dan intisari dari iman. Seorang tidak dianggap beragama dengan benar jika tidak ikhlas. Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-An’am: 162). Surat Al-Bayyinah ayat 5 menyatakan, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” Rasulullah saw. bersabda, “Ikhlaslah dalam beragama; cukup bagimu amal yang sedikit.”
Tatkala Jibril bertanya tentang ihsan, Rasul saw. berkata, “Engkau beribadah kepada Allah seolah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah melihatmu.” Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali dilakukan dengan ikhlas dan mengharap ridha-Nya.”
Fudhail bin Iyadh memahami kata ihsan dalam firman Allah surat Al-Mulk ayat 2 yang berbunyi, “Liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya” dengan makna akhlasahu (yang paling ikhlas) dan ashwabahu (yang paling benar). Katanya, “Sesungguhnya jika amal dilakukan dengan ikhlas tetapi tidak benar, maka tidak diterima. Dan jika amal itu benar tetapi tidak ikhlas, juga tidak diterima. Sehingga, amal itu harus ikhlas dan benar. Ikhlas jika dilakukan karena Allah Azza wa Jalla dan benar jika dilakukan sesuai sunnah.” Pendapat Fudhail ini disandarkan pada firman Allah swt. di surat Al-Kahfi ayat 110.
Imam Syafi’i pernah memberi nasihat kepada seorang temannya, “Wahai Abu Musa, jika engkau berijtihad dengan sebenar-benar kesungguhan untuk membuat seluruh manusia ridha (suka), maka itu tidak akan terjadi. Jika demikian, maka ikhlaskan amalmu dan niatmu karena Allah Azza wa Jalla.”
Karena itu tak heran jika Ibnul Qoyyim memberi perumpamaan seperti ini, “Amal tanpa keikhlasan seperti musafir yang mengisi kantong dengan kerikil pasir. Memberatkannya tapi tidak bermanfaat.” Dalam kesempatan lain beliau berkata, “Jika ilmu bermanfaat tanpa amal, maka tidak mungkin Allah mencela para pendeta ahli Kitab. Jika ilmu bermanfaat tanpa keikhlasan, maka tidak mungkin Allah mencela orang-orang munafik.”
Buruknya Riya
Makna riya adalah seorang muslim memperlihatkan amalnya pada manusia dengan harapan mendapat posisi, kedudukan, pujian, dan segala bentuk keduniaan lainnya. Riya merupakan sifat atau ciri khas orang-orang munafik. Disebutkan dalam surat An-Nisaa ayat 142, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat itu) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.”
Riya juga merupakan salah satu cabang dari kemusyrikan. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya yang paling aku takuti pada kalian adalah syirik kecil.” Sahabat bertanya, “Apa itu syirik kecil, wahai Rasulullah?” Rasulullah saw. menjawab, “Riya. Allah berkata di hari kiamat ketika membalas amal-amal hamba-Nya, ‘Pergilah pada yang kamu berbuat riya di dunia dan perhatikanlah, apakah kamu mendapatkan balasannya?’” (HR Ahmad).
Dan orang yang berbuat riya pasti mendapat hukuman dari Allah swt. Orang-orang yang telah melakukan amal-amal terbaik, apakah itu mujahid, ustadz, dan orang yang senantiasa berinfak, semuanya diseret ke neraka karena amal mereka tidak ikhlas kepada Allah. Kata Rasulullah saw., “Siapa yang menuntut ilmu, dan tidak menuntutnya kecuali untuk mendapatkan perhiasan dunia, maka ia tidak akan mendapatkan wangi-wangi surga di hari akhir.” (HR Abu Dawud)
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2008/05/582/tiga-ciri-orang-ikhlas/#ixzz26rzWbMLQ
http://adehumaidi.com/islam/niat-pokok-pangkal-segalanya
Cerita tentang Ilmu ikhlas:
lmu ikhlas
subhnallah...
"sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya untuk allah, tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”. (QS. Al-An’aam: 162-163). "
"barang siapa yang menyebut la illa ha ilallah dengan ikhlas pasti masuk surga"
apakah jika saya mengharapkan surga allah disebut tidak ikhlas??
apakah jika allah mengiming-imingkan saya dengan surga-Nya allah, lantas saya percaya kepada allah karena allah akan memberikan saya surga, saya disebut tidak ikhlas?? dan ini salah??
apakah jika saya percaya (beriman) kepada perkataan allah lantas saya disebut tidak ikhlas??
apakah saya tidak boleh mengharapkan sesuatu dari allah??, sedangkan allah maha berkuasa atas segala sesuatu, allah maha mengabulkan sesuatu, dan sedangkan allah menyuruh saya untuk meminta hanya kepadanya bukan kepada yang lain..., jika saya masih disalahkan juga dan dibilang tidak ikhlas karena mengharapkan sesuatu dari allah..., tega bener sih....!! (emangnya kemana lagi saya meminta pertolongan jika saya sedang kesusahan dan mempunyai hajat??, emangnya ada yah yang bisa mengabulkan permohonan saya selain allah??, dan yang lebih berkuasa selain allah, emang ada??)
"sepertinya harus diteliti lebih dalam dan perlu diralat deh.... kata-kata "ibadah mah ibadah aja, jangan meminta/berharap sesuatu kepada allah..., meminta sesuatu kepada allah itu tidak ikhlas namanya (kan berharap)..." (kalau seperti ini bahasanya.., kasihan dong saya, gak ada tempat untuk mengadu dan gak ada tempat untuk meminta..., padahal banyak sekali kebutuhan-kebuthan dan hajat saya...)
CERITA 1 : si Budi
Ada seorang anak yatim, yang sakit. Di ujung gang. Dan si budi tergerak memberi ibu anak yatim ini, 100rb rupiah sebagai sedekah.
si budi jalan diam-diam, no body knows. Tidak ada yang tahu. Bahkan si budi pun menyengaja tidak memberi tahu siapapun. budi sembunyikan segala niatan nya.... Hanya Allah saja yang tahu.
budi ambil amplop, lalu budi selipkan uang Rp. 100 tersebut. si budi pilih sengaja jalan menuju rumah si yatim di saat langit begitu sunyi dihiasi sinar sempurna rembulan. dengan alasan: Benar-benar supaya tidak ada yang tahu, bahwa di tangan budi tergenggam amplop putih berisi uang 100rb untuk si yatim.
Andai pun ada yang menegur: "Hendak kemana wahai anak muda?" Niscaya budi hanya akan jawab dengan senyuman saja tanpa berkata-kata. Menghindari pertanyaan selanjutnya. Kalaupun perlu menjawab, si budi hanya akan menjawab: "Sedang menikmati malam dan gemerlapnya bintang".
Lalu, di depan pintu rumah si yatim, budi pun menikmati kesendirian amal. Benar-benar tidak ada yang tahu. Sementara budi meyakini bahwa Malaikat-Malaikat Allah yang bersih hatinya lah yang menatap lekat perilaku budi dan mencatatnya bahwa amal ini mutlak milik Allah dan
dipersembahkan hanya untuk Allah semata.
Melalui lobang kecil di bawah pintu, yang berjarak hanya setengah centi dari tanah, budi masukkan amplop tersebut. Amplop ini hanya bertuliskan: “Dari hamba Allah”.
Bahkan amplop itu masih berisi sedekah dalam bentuk yang lain. Yakni sedekah dalam bentuk
sekalimat doa: “Semoga Ananda diberikan kesembuhan, dan ibu memiliki keberkahan memelihara
anak yatim".
Tapi ya hanya sampai di situ. Benar-benar sampai di situ. Tidak ada ketukan pintu yang kemudian menjadi kesempatan buat budi memberi tahu si penghuni rumah bahwa ada amplop terselip dibawah pintu. Tidak.
Amal ini begitu sunyi. Sesunyi malam yang dipilih. dan sunyi dari kepentingan pribadi...
Inilah yang barangkali disebut budi dengan “ikhlas” dan juga oleh kebanyakan orang. Berusaha keras menyembunyikan amal, hanya Allah saja yang tahu. Kerahasiaan amal di jaga demikian ketat. Hal-hal apa saja yang menyebabkan amal ini menjadi tetap tersembunyi, benar-benar dilakukan.
CERITA 2 : si Andi
Masih dalam adegan yang sama, kejadian yang sama, dan situasi keadaan yang juga sama dengan
cerita 1. cerita 2 ini hanya ingin menambahkan, bahwa ternyata amplop yang diberikan ke anak yatim tersebut "tidak kosong". Melainkan ia “berisi”.
Tentu saja bukan berisi uang 100rb. Sebab itu mah udah terang bahwa itu amplop berisi 100rb.
Cuma, amplop itu tanpa nama. Hanya bertuliskan “Hamba Allah”. Ada sih “isi” nya yang lain selain uang 100rb dan bubuhan nama: Hamba Allah. Yakni bubuhan doa: “Semoga Ananda diberikan
kesembuhan, dan ibu memiliki keberkahan memelihara anak yatim". Tapi, ini amplop sepi dari
kepentingan pribadi.
Nah, di cerita 2 ini, ada seorang anak muda yang bernama andi, yang bergaya sedekah sama. Sama2 tersembunyi.
Namun anak muda ini berbeda. Anak muda pemberi sedekah ini menambahkan kalimat akhir di amplop tersebut: "... Mohon doa, agar Allah berikan saya rizki yang banyak yang barokah,
dan agar Allah kabulkan hajat saya". Masih tanpa nama. Hanya tertulis: "Hamba Allah".
----------------
Terasa ada satu pamrih ya? Minta didoakan oleh si penerima sedekah.
Atau temen-temen ada yang mengatakan, yang beginian mah disebutnya bukan pamrih atuh. Sebut saja dengan: Minta doa. Ya, minta doa dari si yatim dan ibunya. Toh, minta doa itu kan tidak salah. Bukan sesuatu yang pamrih. Malah kebaikan adanya. Betul loh, minta doa itu adalah ibadah juga. Bahkan ibadah berganda. Ketika kita minta doa, maka itu akan membuat orang lain mendoakan kita. Itu kan sama saja dengan memberi peluang orang untuk mendoakan orang lain. Dan ketika meminta doa, ada pahala silaturahim juga.
Sebagian temen-temen yang lain lagi berpendapat, minta doa mah, ga kudu ngasih juga ga apa-apa. Barangkali demikian. “Cuma, ga enak aja,” Masa minta tanpa memberi sesuatu? Kalo kita bawa tentengan buat si yatim, bisa nyenengin hatinya, rasanya si yatim pun begitu dimintain doa jadi tambah enteng dan ikhlas.
Tetap terlihat pamrih ya?
Engga ah.
Ya terserah saja.
---------------------
Dalam hubungannya dengan Allah, jika meminta adalah sesuatu yang bukan saja tidak dilarang, tapi juga malah disuruh, dianjurkan, dan menjadi ibadah. Maka, mestinya sedekah tidak boleh
menghalangi seseorang dari meminta. Sebagaimana shalat dan atau amal saleh lainnya yang malah menjadi penambah faktor doa dikabulkan, jika doa itu dilayangkan sehabis mengerjakan/
dibarengi dengan amal saleh.
jika meminta adalah doa, dan doa adalah ibadah, maka ia bisa berdiri sebagai satu ibadah
tersendiri. Yang tanpa rangkaian ibadah lain, doa menjadi boleh dipanjatkan.
Jika demikian, apakah bisa dikatakan bahwa seseorang yang bersedekah dan berdoa (meminta kepada Allah, mengharap kepada Allah) dia mendapat dua pahala, Pahala bersedekah dan pahala berdoa.
Dan jika bersedekah malah menjadikan seseorang tidak boleh berharap sama Allah, apakah ia boleh kemudian memilih tidak bersedekah saja? Sebab sedekahnya malah menghalanginya meminta sama Allah?
CERITA 3 : si edi
masih dalam cerita yang mirip : Ada seorang anak yatim, yang sakit. Di ujung gang. Dan si edi tergerak memberi ibu anak yatim ini, 100rb rupiah sebagai sedekah.
berbeda dengan si budi dan si andi..., si edi langsung mendatangi rumah seorang ibu yang mempunyai anak yatim tersebut tanpa bersembunyi-sembunyi....
si edi berkeyakinan seperti pesan ibunya "sambil menyelam minum susu"...., (alias sekali mendayung 2 atau 3 pulau bisa terlampaui).. selain niat bersedekah si edi juga punya berbagai macam niatan (si edi berfikir.., lumayan kan 1 kali ayunan langkah bisa mengumpulkan beberapa macam pahala kebaikan...). selin niat bersedekah (pertama), si edi juga ingin memenuhi perintah allah dalam bersilaturahmi (kedua), bukankah silaturahmi itu perintah allah???, bukan cuma itu.., si edi tahu benar bahwa anak-anak yatim itu dimuliakan oleh allah.., maka si edi berniat mencari berkah anak yatim "dengan meminta do'anya" kepada anak yatim dan ibunya... "... Mohon doa, agar Allah berikan saya rizki yang banyak yang barokah, dan agar Allah kabulkan hajat saya" (persis seperti si andi layangkan dalam amplop), tidak sampai disitu : setelah pulang edi pun berdoa kepada allah agar anak yatim tersebut diangkat penyakitnya, ibunya pun diberikan kesabaran dalam merawat anak yatim tersebut dan tidak lupa edi berdoa untuk dirinya sendiri agar dimudahkan dalam hidup dan langkah edi.... (subhanallah bukankah ini benar-benar, "sekali ayunan langkah bisa mengumpulkan beberapa macam kebaikan??) .
tidak sampai disini.....
setelah beberapa hari (dari mengunjungi anak yatim...)... pintu rezeki si edi benar-benar terbuka (mungkin ini karena doa dari si anak yatim..., karena allah memuliakan anak yatim) subhanallah....
si edi berfikir (saya gak boleh seneng sendirian nih...), si edi kemudian bercerita kepada adiknya, kakaknya dan seluruh keluarganya..., si edi berkata "kalau rezeki kamu mau terbuka dan hajat ingin dikabulkan allah..., maka banyaklah sedekah dan senangi hati anak yatim"... walhasil adiknya pun mengikuti (dan edi pun mendapatkan pahala kebaikan dari adiknya) dan mendapatkan kejadian yang sama seperti edi yaitu "terbuka rizkinya dan lancar"
tidak sampai disini lagi....
edi pun memberi tahukan dan menadikan "sedekah" sebagai metode karena kejadiannya terus berulang dan berulang kepada siapa saja yang melakukannya... dan edi pun menyebarluaskan kepada teman-temannya dan menjadikan sebuah tulisan agar diikuti oleh pembaca yang ingin mengharapkan pertolongan allah.... (walhasil edi pun mendapatkan pahala yang tak terhingga karena orang-orang yang mengikuti anjuran edi untuk bersedekah.... subhanallah...)
masa iya saya menjalankan perintah allah disebut tidak ikhlas??
masa iya saya mengajarkan suatu ilmu (ilmu-Nya allah) disebut tidak ikhlas??
masa iya saya mencari-cari pahala kebaikan yang banyak, disebut tidak ikhlas??
masa iya saya mengharapkan pertolongan allah disebut tidak ikhlas??
oke seperti biasa... untuk temen2 semua jika tulisan ini bermanfaat, yang mau share saya persilahkahkan share....!! saya minta do'anya dari temen2....... saya tunggu doanya dari temen2 semua yah.... terima kasih. assalamu'alaikum wrwb.....
Sumber:
Penulis : Edi Sutisna : (http://www.facebook.com/edi.sutisna.kerens)
Penulis : Edi Sutisna : (http://www.facebook.com/edi.sutisna2)
http://www.club-pecinta-alquran.com/
http://www.gerakkan-sedekah-membabibuta.com/
http://www.kampungakhirat.com/
0 comments:
Post a Comment