Saturday, 24 December 2011

Saya Tidak Tahu



Materi Ngajikok 24 Desember 2011 oleh Bapak Fikri Waskito di Athen Apartment 216
 

Menuntut Ilmu itu Wajib

Tidak diragukan lagi, bahwa di kehidupan dunia -yang bersifat sementara- ini, ilmu Agama menjadi sesuatu yang selalu melekat dalam kehidupan kita sehari-hari. Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah Subhaanahu wa Ta’ala, tentulah harus selalu menyadari mengapa dia diciptakan. Dan harus selalu mencari tahu bagaimana caranya agar dapat mendekatkan diri kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Karena itulah, manusia harus memiliki keinginan untuk mengetahui hal-hal tersebut. Sebagaimana apa yang disampaikan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

“Menuntut ilmu merupakan kewajiban atas setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah no:224, dan lainnya dari Anas bin Malik)

Menuntut ilmu tentu ada tahap-tahapnya. Ilmu apa yang wajib kita pelajari terlebih dahulu? Tentu saja ilmu mengenai segala yang diwajibkan kepada kita.

Jika seorang anak sudah baligh (setiap muslim yang sudah baligh, berarti sudah mukallaf -dibebani dengan syariat-), maka pertama-tama yang harus dipelajari adalah dua kalimat syahadat dan memahami maknanya. Hal ini merupakan tauhid yang menjadi hal paling dasar dari Islam. Jika sudah tiba waktunya untuk mendirikan shalat, maka dia harus mempelajari cara bersuci (thaharah) dan shalat. Jika tiba bulan Ramadhan, dia harus mempelajari puasa.


Selain itu, jika dia mempunyai harta benda dan waktunya telah mencapai satu tahun (haul), maka dia harus mempelajari masalah zakat. Jika tiba musim haji dan memungkinkan baginya untuk pergi berhaji, maka dia harus mempelajari manasik haji dan hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan haji. Seorang muslim juga harus mengetahui apa yang diwajibkan dan diharamkan kepadanya baik dari segi muamalah, makanan, dan lain sebagainya.

Karena itulah, menuntut ilmu agama seperti yang disebutkan di atas sangat penting dan mulia. Setelah ilmu-ilmu yang wajib tersebut kita ketahui, maka barulah kita teruskan mencari ilmu yang lainnya tanpa melupakan ilmu pokok tersebut.

Berhati-hatilah Berbicara mengenai Agama

Proses pencarian ilmu tidak akan bisa terlepas dari dakwah. Menyampaikan, mendengarkan, bertanya, dan menjawab. Proses belajar inilah yang menyampaikan ilmu yang haq ini sejak zaman Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam  sampai zaman kita saat ini. Para ulama terdahulu tersebut telah mencurahkan sebagian besar dari hidupnya untuk bergelut dengan ilmu. Betapa mulianya proses ini, dan semoga Allah Subhaanahu wa Ta’ala selalu merahmati semua yang menyampaikan ilmu ini kepada kita.

Namun yang harus kita perhatikan dengan baik dari proses dakwah ini adalah: berbicara tentang agama harus didasari dengan ilmu. Memang benar bahwa Islam tidak akan pernah tersebar tanpa ada yang menyampaikan. Namun bukan berarti setiap orang berhak untuk menyampaikan mengenai agama, apalagi tanpa ilmu yang mendasari perkataan tersebut. Kita diperintahkan untuk bertanya mengenai agama kepada orang yang berilmu. Sebagaimana firman Allah Subhaanahu wa Ta’ala:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“… maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”. (QS. An Nahl: 43).

Namun di zaman ini bermunculan tulisan-tulisan yang berkaitan dengan agama, jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan agama, artikel-artikel yang berkaitan tentang agama, buku bermacam-macam membicarakan permasalahan-permasalahan agama yang bermacam-macam.

Semuanya memberi fatwa, semuanya berbicara tentang sebuah permasalahan agama. Tidak sedikit, ada yang mengatakan, “Ini halal, itu haram, ini mubah, itu dianjurkan, ini makruh, ini wajib, itu sunnah, ini syirik, itu bid’ah, tanpa ada dalil satupun dari Al Quran atau As Sunnah berdasarkan pemahaman para sahabat Radhiyallahu ‘anhuma.

Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلاَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya.” (QS. Al-Isra’ : 36)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Kesimpulan penjelasan yang mereka sebutkan adalah: bahwa Allah Ta’ala melarang berbicara tanpa ilmu, yaitu (berbicara) hanya dengan persangkaan yang merupakan perkiraan dan khayalan.” (Tafsir Al-Qur’anul Azhim, surat Al-Isra’:36)

Setiap orang hendaknya senantiasa menjauhkan diri dan merasa takut mengatakan tentang Allah Ta’ala tanpa ilmu, sebab hal tersebut bukan termasuk perkara duniawi yang akal bisa berperan di dalamnya. Jika perkara itu adalah perkara duniawi yang akal bisa berperan di dalamnya, seseorang sepatutnya menunggu (tidak tergesa-gesa) dan hendaknya memikirkan (terlebih dahulu).

Jangan sampai kita bermudah-mudahan dalam memberikan pendapat mengenai agama, apalagi sampai berfatwa. Ingatlah kita kepada perkataan salah seorang sahabat, Ibnu Mas’ud Radhiyallaahu’anhu : ”Sesungguhnya yang berfatwa kepada manusia di setiap apa yang ditanyakan kepadanya, adalah benar-benar orang gila”.

Katakanlah, Saya Tidak Tahu

Seorang muslim, di antara akhlaknya adalah tidak tergesa-gesa dan hendaknya mengatakan. “Saya tidak tahu” tentang masalah yang memang tidak diketahuinya. Orang yang menyatakan, “Saya tidak tahu.”, ia mengetahui kapasitas dirinya dan berpedoman pada kejujuran.

Perkataan “Saya tidak tahu” sama sekali bukan perkataan yang memalukan. Perkataan tersebut justru dapat menyelamatkan sang penanya maupun yang ditanya dari perkara menyesatkan. Hendaknya seorang muslim lebih malu untuk mengatakan sesuatu tanpa didasari ilmu dibandingkan berkata “Saya tidak tahu”.

Mengapa kita harus malu untuk mengatakan “Saya tidak tahu”? Sementara Malaikat Jibril ‘Alaihissalam dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam saja mengatakan: “Saya tidak tahu”? Kita bisa menyimaknya di kisah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad Rahimahullah melalui sahabat Jubair bin Muth’im radhiyallahu ‘anhu, beliau bercerita:

أنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ الْبُلْدَانِ شَرٌّ قَالَ فَقَالَ « لاَ أَدْرِى ». فَلَمَّا أَتَاهُ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ قَالَ « يَا جِبْرِيلُ أَىُّ الْبُلْدَانِ شَرٌّ ». قَالَ لاَ أَدْرِى حَتَّى أَسْأَلَ رَبِّى عَزَّ وَجَلَّ. فَانْطَلَقَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ ثُمَّ مَكَثَ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَمْكُثَ ثُمَّ جَاءَ فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ إِنَّكَ سَأَلْتَنِى أَىُّ الْبُلْدَانِ شَرٌّ فَقُلْتُ لاَ أَدْرِى وَإِنِّى سَأَلْتُ رَبِّى عَزَّ وَجَلَّ أَىُّ الْبُلْدَانِ شَرٌّ فَقَالَ أَسْوَاقُهَا.

“Seseorang mendatangi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan bertanya: “Wahai Rasulullah, daerah manakah yang paing buruk?”, beliau menjawab: “Aku tidak tahu”, ketika Jibril ‘alaihissalam mendatangi beliau, beliau bertanya: “Wahai Jibril, daerah manakah yng paling buruk?”, Jibril menjawab: “Aku tidak tahu, tunggu sampai aku bertanya kepada Rabbku Azza wa Jalla”, lalu Jibril ‘alahissalam pun pergi, kemudian berdiam sesuai kehendak Allah Ta’ala, kemudian Jibril ‘alahissalam datang dan berkata: “Wahai Muhammad, sesungguhnya engkau bertanya kepadaku tentang daerah manakah yang paling buruk? dan aku jawab; aku tidak tahu, dan sungguh aku telah bertanya kepada Rabbku Azza wa Jalla tentang daerah mana yang paling buruk?”, Dia (Allah Azza wa Jalla) menjawab: “Pasar-pasarnya”.”

Tampak jelas bagaimana akhlak Malaikat Jibril ‘Alaihissalam dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam menghadapi pertanyaan yang tidak diketahui jawabannya, dan dengan mudah menjawab tidak tahu. Dan ada begitu banyak kisah yang sampai kepada kita tentang para sahabat radhiyallaahu ‘anhuma yang sangat sering mengatakan “Saya tidak tahu”, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu”, ataupun "Wallaahu a'lam" ketika menghadapai permasalahan yang benar-benar tidak diketahui. Padahal sudah jelas bagaimana tingkat keilmuan mereka semua. Bagaimana dengan kita?

Contoh Hal yang Kita Harus Menahan Diri untuk Berpendapat

Sebetulnya dalam semua hal yang berkaitan dengan Agama Islam ini, kita harus menahan diri untuk berpendapat tanpa ilmu. Namun di sini akan diberikan beberapa contoh hal yang kita harus menahan diri untuk berpendapat di dalamnya.
  1. Halal, haram, dan hukum lainnya
Sudah merupakan pengetahuan bagi kita, bahwa Islam mengatur segala sendi kehidupan dari hal yang besar sampai hal yang kecil. Pengaturan tersebut berupa perintah dan juga larangan. Seluruh pengaturan tersebut merupakan rancangan dari Allah Subhaanahu wa Ta’ala  demi kebaikan manusia. Setiap yang diperintahkan Allah Subhaanahu wa Ta’ala pastilah memiliki manfaat dan setiap yang dilarang oleh Allah Subhaanahu wa Ta’ala pastilah memiliki madhorot.

Dan setiap yang halal dan haram sudah dijelaskan oleh Allah Subhaanahu wa Ta’ala baik secara langsung maupun melalui perkataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Sehingga setiap kita berbicara mengenai hukum sesuatu, baik halal, haram, maupun hukum yang lainnya, hendaknya kita senantiasa mengacu pada Al-Qur’an dan Hadits.

Jangan sampai kita sampai mendahulukan akal dan hawa nafsu kita dalam mengatakan sesuatu itu halal maupun haram. Jangan sampai karena kita menyukai sesuatu yang haram, kemudian mencari pembenaran dengan mengatakan bahwa hal itu halal. Dan juga sebaliknya, jangan sampai karena kita tidak menyukai sesuatu yang halal, kemudian mencari pembenaran dengan mengatakan hal tersebut haram.

Allah Ta’ala berfirman:

وَلاَ تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلاَلٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُوا عَلَى اللهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللهِ الْكَذِبَ لاَ يُفْلِحُونَ

Dan janganlah kamu mengatakan terhadapa apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (QS. An-Nahl (16): 116)

Kita harus selalu yakin bahwa setiap yang diperintahkan Allah Subhaanahu wa Ta’ala pastilah memiliki manfaat dan setiap yang dilarang oleh Allah Subhaanahu wa Ta’ala pastilah memiliki madhorot. Dan tidak semua perintah tersebut dapat kita pahami dengan keterbatasan akal kita. Sehingga jangan sampai kita menuruti hawa nafsu kita dalam menghalalkan dan mengharamkan sesuatu.
  1. Vonis terhadap seseorang
Telah datang keterangan-keterangan kepada kita apa itu definisi syirik, bid’ah, fasik, dan juga penyimpangan-penyimpangan lain yang ada pada diri manusia. Namun memberi vonis kepada individu tertentu, itu tidak bisa dilakukan oleh setiap orang. Masalah vonis semacam tersebut merupakan hal yang sangat berat konsekuensinya. Karena semua hal tersebut berkaitan dengan syariat, maka vonisnya pun harus berdasarkan syariat.

Secara umum, vonis dibagi menjadi dua, yaitu vonis muthlaq (umum) dan vonis mu’ayyan (individu). Vonis muthlaq itu hal yang diperbolehkan, selama ada hukumnya dari Al-Qur’an dan Hadits. Contoh vonis muthlaq adalah: Siapa yang datang ke dukun, kemudian membenarkan dan percaya pada perkataannya, maka ia jatuh pada kekafiran. Ini bersifat umum. Namun ketika kita melihat fulan mengunjungi dukun dan membenarkan perkataannya, kita tidak bisa serta merta menuduh si fulan telah kafir. Vonis mu’ayyan semacam ini memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi, di mana hanya ahli ilmulah yang bisa melakukannya.

Ketika kita sembarangan melakukan vonis terhadap seseorang, maka kita dapat diancam dengan perkataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:

لاَ يَرْمِى رَجُلٌ رَجُلاً بِالْفُسُوقِ ، وَلاَ يَرْمِيهِ بِالْكُفْرِ ، إِلاَّ ارْتَدَّتْ عَلَيْهِ ، إِنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كَذَلِك

“Tidaklah seorang menuduh orang lain dengan kefasikan dan kekafiran, kecuali akan kembali kepada penuduhnya apabila orang yang dituduh tidak seperti itu.” (HR. Al-Bukhari (5698))

Karena itulah kita harus selalu menahan diri dalam memvonis seseorang yang berkaitan dengan hal semacam itu.
  1. Tafsir terhadap Al-Qur’an dan Hadits
Al-Qur’an dan Hadits merupakan dua yang yang ditinggalkan kepada kita sebagai pedoman hidup kita. Namun terkadang kita masih belum dapat memahami makna yang terkandung dalam dalil.

Suatu hal yang sangat berbahaya, apabila kita memaknai Al-Qur’an dan hadits hanya dengan akal kita sendiri. Apalagi jika kita memiliki ilmu alat untuk memahaminya (contoh, ilmu ushul tafsir).

Barangkali kita sering mendengar orang yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan hawa nafsu dan keterbatasan akal tersendiri, dengan mengatakan “menurut saya seperti ini”, atau “ayat ini maksudnya tentu seperti ini”. Perkataan semacam ini sangat berbahaya dalam memahami agama Islam yang haq ini.

Tentu saja kita harus memahami Al-Qur’an dan Hadits sesuai dengan maksud yang dimaksudkan oleh pencipta syariat tersebut. Siapakah yang paling memahami Al-Qur’an dan Hadits? Tentu saja Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Sehingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah guru terbaik dalam memahami Islam ini. Dan yang mendapat kesempatan untuk diajar langsung oleh guru terbaik ini adalah para sahabat radhiyallaahu ‘anhum. Sehingga tentu saja kita harus memahaminya juga sesuai dengan pemahaman para sahabat. Tidak heran jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

“Sebaik-baik manusia adalah generasiku (yaitu generasi sahabat), kemudian orang-orang yang mengiringi mereka (yaitu generasi tabi’in), kemudian orang-orang yang mengiringi mereka (yaitu generasi tabi’ut tabi’in).” (Hadits mutawatir, Bukhari, no. 2652, 3651, 6429; Muslim, no. 2533; dan lainnya).

Berijtihad dapat 2 Pahala?

Barangkali telah sampai kepada suatu hadits yang mengatakan bahwa kita boleh berijtihad. Karena jika benar mendapatkan 2 pahala, dan jika salah mendapatkan 1 pahala. Apakah kita harus tetap mengatakan “saya tidak tahu”? Kita dapat melihatnya dalam sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ.
“Apabila seorang hakim menghukumi satu perkara, lalu berijtihad dan benar, baginya dua pahala. Dan apabila ia menghukumi satu perkara, lalu berijtihad dan keliru, baginya satu pahala”. (HR Bukhori dan Muslim)

Jelaslah bahwa yang boleh berijtihad adalah seorang mujtahid. Artinya seorang yang memiliki ilmu untuk melakukan ijtihad. Tidak setiap orang dapat berfatwa dan menentukan hukum suatu hal yang berkaitan dengan agama. Sehingga sedapat mungkin kita harus selalu menahan diri dalam menghukumi sesuatu yang berkaitan dengan agama.

Saya Tidak Tahu merupakan Setengah Ilmu

Sebagai penutup, marilah kita merenungkan firman Allah Subhaanahu wa Ta’ala:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Maidah :44)

Betapa kerasnya ancaman yang ditujukan pada seseorang yang memutuskan sesuatu tidak menurut apa yang diturunkan oleh Allah Ta’ala. Karena itu, marilah kita senantiasa menyadari ketidaktahuan kita akan ilmu agama, dan juga senantiasa menuntut ilmu agar mengetahui apa yang harusnya kita ketahui.

Dan apabila datang pertanyaan kepada kita mengenai apa yang tidak kita ketahui, janganlah malu untuk mengatakan saya tidak tahu. Ingatlah selalu perkataan Imam asy-Sya'bi rahimahullah : "Kalimat 'saya tidak tahu' adalah setengah ilmu". (Riwayat ad-Darimi 1/ 63; al-Khathib dalam al-Faqih wal Mutafaqih, juz 2/173; Baihaqi dalam al-Madkhal no. 810. Lihat Hilyatul 'Alimi al-Mu'alim hal. 65)

Wallaahu a’lam. Semoga kajian ini bermanfaat untuk kita semua, terutama untuk penyusun sendiri.

(Disusun oleh Fikri, di Athen 234, 24 Desember 2011, 2.54 PM)

Sumber dan Rujukan:
  1. Ketika Agama telah Mengharamkan Ketika Agama telah Mengharamkan http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/ketika-agama-telah-mengharamkan.html

0 comments:

Post a Comment